Catatan Kecil untuk Antologi “Pulang Kampung”
~Ahmad Kekal Hamdani
I
Salah satu hal yang
menjadi hantu bagi proyek modernitas mutakhir adalah lahirnya sebuah
kesadaran untuk kembali pada yang
sejatinya berwatak purbani. Arah masa depan yang selalu ingin dijangkaunya
ternyata telah membalikkan tubuhnya kembali pada hal-hal yang sebelumnya ingin
ditinggalkan. Masa lalu dalam kenangan akhirnya tidak hanya dikunjungi sebagai
suatu kenyataan sejarah, akan tetapi dihadirkan dan diciptakan kembali sebagai
komoditas kini yang merayap ke dalam lini-lini kebudayaan kita—seperti anak-anak
masa lalu yang menunggu untuk bangkit.
Romantisisme tampaknya memang tak pernah bisa ditiadakan.
Manusia tumbuh dan berkembang melampaui kenyataan-kenyataan aktualnya. Ikatan
hari ini dengan apa yang kita ruwat sebagai masa lalu serta yang kita rawat
sebagai masa depan merupakan sayap bagi cara kita ada. Fakta dan fiksi menjadi
saling memberi fondasi membangun struktur-strukturnya. Membaca sejarah akhirnya merupakan sebuah
aktifitas yang tak pernah murni, ia berangkulan dengan kekuatan-kekuatan dari
basis-basis material yang didorong oleh hasrat purbawi—manusia sebagai yang tak
begitu jauh berbeda dengan hewan. Hal yang politis menjadi perangkat dari
kenyataan di atas sebagai upaya-upaya manusia mengejawantahkan dirinya.
Perubahan-perubahan dunia yang cepat
dan radikal berpotensi untuk menciptakan shock
culture yang berujung pada sikap-sikap hidpokrisis. Ketakutan akan hal-hal
baru yang dianggap mengancam meski terkadang diiiringi dengan suatu keadaan
yang apatis sangat mungkin terjadi.
Kedaulatan identitas budaya dan politik yang
meletus di masa-masa proklamasi kemerdekaan telah menciptakan garis geo-politik
yang tidak sepenuhnya bisa atau mampu terbuka. Hal ini belum berkenaan dengan
bagaimana proses-proses akulturasi dari pengaruh-pengaruh dunia permukaan mesti
didistribusikan ke dalam wilayah-wilayah budaya yang tersebar ragam di
Indonesia. Hingga kini proses negoisasi-dialektis dalam hal ini belum tuntas
dan mungkin untuk dirumuskan sebagai sesuatu yang final.
Kegagapan akhirnya muncul sebagai akibat dari
benturan-benturan nilai. Di wilayah-wilayah terpencil yang jauh dari akses
kota-kota besar (bukan kota dalam pengertian tradisional) mengalami sekian
ketimpangan antara nilai-nilai dan praktik-praktik kulturalnya. Di
Madura—sebagai misal—kita masih banyak menemukan daerah-daerah yang tidak
memiliki sarana pendidikan yang memadai, pergantian orde politik negara dari
awal hingga kini tak memberikan arti banyak dalam penanggulangan askses
pendidikan ini—apalagi jika ditinjau dari daerah-daerah lain. Pulau-pulau yang
tak memiliki akses sumber daya listrik. Akses jalan raya yang terbatas, serta
begitu banyaknya lahan-lahan tersia karena pengelolaan yang abai.
Kondisi sosio-kultural semacam di atas akhirnya
mengalami simptom-simptom patologis. Di mana kriminalitas semakin tajam, candu
nepotisme dan korupsi, kejumudan, hipokrisisme dan temperament sosial justru
berkembang biak di tengah-tengah suburnya ritual-ritual spiritualitas yang
telah dikonvensikan sebagai kultur legitimatik. Paradoks. Spiritualitas Islami
yang mestinya dapat menjadi jalan pencerah—namun karena tak diimbangi dengan
prasarana kebutuhan sosial-ekonomi sebagai basis material yang seimbang— akhirnya mudah sekali tergelincir pada klenik
dan upaya-upaya menguasai dan mempergunakan mistisisme hitam.
Para tradisionalis di satu sisi selalu berupaya
meneguhkan kebajikan lama yang telah terbakukan dalam tradisi. Nilai-nilai
dipatungkan sedemikian rupa tanpa diimbangi counter
yang cukup untuk apa yang datang sebagai yang lian. Respon akan kebaruan
yang masif lewat berkembangnya ketergantungan akan gadget, arus informasi dan media sosial yang tak terbendung telah
menjadi sebuah atap yang bocor bagi benteng perlindungan akan nilai-nilai yang
dianggap asli. Lewat hipokrisis semacam ini, mitologisasi akan yang korup
sebagai nilai tunggal yang mesti dijaga sangat mungkin terjadi.
Dalam suatu perbincangan ringan dengan seorang
kawan, saya pernah berujar; sukar bagi kita mendapati suatu kemajuan yang
signifikan di dalam masyarakat Madura selama konsepsi “kebenaran” bersifat
tunggal dan bersumber hanya dari legitimator-kultural yang juga tunggal.
Tantangan kini membutuhkan suatu improvisasi yang tak monofonik. Peranan
tunggal Kyai sebagai pendidik dan pengayom masyarakat Madura mesti diimbangi
pula oleh suatu upaya-upaya (keterlibatan) kultural maupun politik kebudayaan
dari kalangan seniman—pun juga aktor-aktor lain dari ragam profesi. Hal ini
untuk menciptakan suatu kesadaran yang lebih kaya perihal kedudukan dan
eksistensi masyarakat di semua lini sosial yang ada; bahwa setiap individu
memiliki suatu peranan yang juga sangat menentukan dalam memproyeksi
Madura—apapun profesi dan kedudukannya dalam jejaring tradisional
masyarakat.
II
Untuk membincangkan suatu karya
sastra (puisi) tulisan ini barangkali terlampau mengambil sudut pandang yang
melebar. Namun berbeda kiranya jika kita hendak merefleksikan apa yang kita
hadapi sebagai teks sastra dengan apa yang kita terima sebagai teks realitas
sosio-kultur kita—Madura khususnya. Pengambilan suatu sudut pandang ini niscaya
mengingat apa yang belakangan dihadapi sebenarnya tak jauh dari soal-soal
pendidikan dan infrastruktur sosial Madura sebagai suatu latar besar tempat
Sastra Indonesia juga lahir dan dikembangkan.
Saya sendiri tak pernah bisa
melepaskan latar besar ini begitu saja ketika menghadapi teks-teks puisi yang
notabene dilahirkan oleh penyair-penyair yang lahir dan tumbuh di Madura.
Kesadaran akan urgennya kekayaan lokalitas—hemat saya—tak hanya bersifat dan
diupayakan sebagai suatu usaha pengangkatan, penempelan dan melap-lap
kebudayaan adiluhung Madura yang aus bagai “ranjang tua” (meminjam istilah
Rendra untuk tradisi Jawa) ke dalam teks puisi. Sublimisasi atas
persoalan-persoalan lokalitas adalah reproduksi ulang atas pencercapan
persoalan-persoalan kini yang sesungguhnya terjadi di masyarakat pun dalam
pergolakan atau perkembangan sastra itu sendiri di mana pun lapangannya.
Sebelum akhirnya kita mencoba
mengurai basis material yang berdialektik, terlebih dahulu kita membutuhkan
suatu pemetaan bagaimana sebuah ide direproduksi dan disebarluaskan di dalam
keseharian. Dari sini perilaku saling menopang antara nilai dan tindakan dapat
kita ambil gambaran kecilnya. Wal hasil, membicarakan Sastra Indonesia yang
berkembang di Madura tak dapat kita judge dalam suatu logika Sastra
Indonesia secara nasional—sebagaimana berkembang di tempat-tempat yang lain.
Terdapat tiga penyair yang bisa kita
telisik di dalam buku antologi “Pulang Kampung” ini sebagai suatu contoh kasus.
Pertama, puisi-puisi Hidayat Raharja, penyair yang saya ketahui kiprahnya
bahkan ketika saya duduk di bangku kelas menengah pertama. Kedua, puisi-puisi
M. Fauzi, seorang penyair yang saya kenal sebagai satu-satunya penyair Madura
yang pernah memiliki sejarah performa paling nyentrik di Madura, aktifis teater
dan seorang pengajar. Ketiga, adalah M. Sadik yang saya tahu belakangan adalah
seorang Kepala Sekolah (tenaga pendidik) sebuah Sekolah Menengah Atas negeri di
Sumenep.
Ketiga penyair di atas masih sangat
mungkin untuk kita ikat dalam suatu pengertian yang romantik. Pencarian atas
identitas yang koyak; baik secara individu, dialog antar individu maupun rantai
dari suatu pola hubungan kolektif. Sebuah karnaval menuju masa lampau yang tak
lagi ada, sebuah tetesan dari perasaan-perasaan emosional dari gerak
benda-benda dan realitas di sekitarnya, kenyataan alamiah yang menyublim dalam
pengalaman-pengalaman esoterik, dan tentu saja sebuah upacara pengenyahan suatu
bangunan logis yang telah dipagankan di lingkungan mereka hidup dan ada.
Hidayat Raharja tampaknya sebuah aku
lirik yang penyabar dan halus. Ia lebih memilih suatu objek untuk benar-benar
didekati dan dihadirkan kembali. Puisi-puisinya tentang “Suramadu”, “Sate
Lalat”, dan “Srintil” adalah contoh kecil. Ia lebih tenang dalam suatu sajaknya
yang penuh penghayatan “Dari Hayat ke Mayat”. Banyak lahir belakangan
sebagaimana ghalib-nya puisi-puisi yang mengambil objek pendukung suatu
makna untuk dijadikan makna itu sendiri, puisi Hidayat Raharja tampaknya juga
tergoda mencoba rumusan semacam ini. Barangkali menghargai yang dianggap
partikular ke dalam narasi yang lebih besar dari suatu pembelajaran kata dan
pesan-pesan moral.
Tumbuh dalam sebuah iklim
tradisional di mana kebajikan lama terancam oleh arus deras dari suatu perang kapital
yang merongrong lewat media massa, saluran-saluran gaya hidup dan perdagangan;
adalah hal yang tak mudah. Dibutuhkan suatu penyikapan yang tak sederhana untuk
mereproduksinya dalam suatu laboratorium sunyi sebuah ide dan kata. M. Fauzi
saya kira bagaikan seorang badut getir yang mesti melucu di khalayak yang lupa
cara menangis—oleh karena itu lupa pula cara berbahagia. Ketika makna
tersembunyi di belakang upaya menarik respon kejut dari khalayak. Puisi-puisi
yang ia tulis—hemat saya—bukanlah suatu akrobat kata-kata. Tapi sebuah tarian
telanjang dari paradoks dan nilai-nilai ironik yang dia cercap dari lingkungan
yang dihidupi dan menghidupinya.
M. Sadik tampaknya bergerak dari
sebuah konvensi rima yang mengalir. Ia melantun dari suatu tangga nada yang
runut dan dendang yang santun. Puisi-pusinya sarat renungan moral dari sebuah
upaya melampaui dan bernegasi dari kenyataan-kenyataan yang tak diharapkan.
Kesederhanaan suatu motif nilai dengan meminjam cara alam menggambar. Bagai
sebuah petuah yang mengalir dari sunyi gunung-gunung ke riak-riak sungai di
lembah; dan akhirnya mengalir pada dirinya sendiri.
Ketiganya berada dalam suatu medan
tegang antara dua wajah yang saling berpaling. Antara kenyataan-kenyataan lokal
(yang dialami sebagai individu) dengan realitas nasional sebagai suatu embanan
dan tarikan dari khalayak yang lebih luas. Keabsahan-keabsahan puisi dan
tantangan-tantangannya kini—khususnya di sebuah daerah seperti Madura—adalah
menghilangkan kegamangan ini. Jika di masa lebih awal Subagio Sastrowardoyo
pernah menggambarkan kita sebagai suatu “Manusia Perbatasan”, lalu Goenawan
Mohamad mengafirmasinya sebagai “Malin Kundang”, persoalan kita kini adalah
melihat arah yang paling mungkin dari sebuah evolusi nilai serta tindakan lewat
peramuan 'kata ke dalam realitas' dan 'realitas ke dalam kata'.
Antologi
“Pulang Kampung” yang kini ada di tangan kita, adalah satu dari sekian sample bagi kita untuk melihat peta
besar di atas dari sebuah lubang pintu. Suatu usaha untuk melihat kembali ruang
interior serta eksterior dari kebudayaan yang kita alami dan kita rencanakan; sejarah
yang kita alami dan sejarah yang kita proyeksikan. Suatu pembacaan ke depan
dengan cara mencari yang mungkin tersisa dari jejak-jejak kelampauan kita.
Karena Sejarah adalah pulang
kepada kampung halaman yang sebenarnya tak pernah lagi ada. Pulang adalah
keberangkatan manusia menuju yang menurutnya pernah dikenal. Manusia terlempar
ke dalam waktu bahkan ketika peradaban-peradan tertidur, segalanya berubah
sekaligus kembali—akhirnya hanya kesunyian, kesangsian dan keterasinganlah yang
abadi; di bumi fana
ini. Di dalam ruang kreatif yang paling sublim inilah diharap
lidah-lidah dari makna dicercap dan diyakini mampu menjilatkan api bagi
perubahan-perubahan akan kenyataan-kenyataan kita ada. []
Yogyakarta,
2014.
Catatan:
Tulisan
ini merupakan epilog dari buku puisi “Kampung Halaman” karya 3 Penyair (Hidayat
Raharja, Moh. Fauzi dan Moh. Sadik).
0 komentar:
Posting Komentar