SECANGKIR KOPI, KYAI DAN ESTETIKA ELEMENTER

*
Bila pembaca pernah melintasi jembatan Suramadu—yang menghubungkan Surabaya dan Madura (Bangkalan)—maka janganlah berbalik arah sebelum sampai di ujung bagian timur pulau garam ini. Daerah yang dipenuhi dengan panorama pantai indah di sepanjang pesisir selatannya. Di mana terdapat pesantren Annuqayah, yang banyak melahirkan penulis dan penyair muda—selain pesantren TMI. Al-Amien Prenduan. Di salah satu komplek pesantren Annuqayah inilah sosok M. Faizi dan karyanya yang akan saya bicarakan tinggal dan mengabdikan dirinya.

M. Faizi adalah seorang penyair yang Kyai dan Kyai yang penyair—dalam artian yang aktifitas dan karya sastranya dikenal secara nasional pasca D. Zawawi Imron—di mana kesehariannya selalu dikelilingi santri dan kesibukan-kesibukan pendampingan terhadap masyarakat. Selain sebagai “presiden” komunitas Bismania, tak heran bila ia dijuluki dengan plesetan “Kyai Pariwisata”. Ia bagaikan sebuah ensiklopedi berjalan dunia bus dan traveling. Tak hanya dikuasainya ilmu-ilmu dunia bus, ia juga memiliki jamaah yang tak sedikit dan bahkan mungkin tersebar di seluruh Indonesia yang rata-rata adalah supir, kondektur, maupun kernet bus. Hal ini tidak hanya nyentrik, tapi bagi saya adalah cara M. Faizi untuk berjuang dengan nilai-nilai yang diembannya baik sebagai seorang Kyai maupun pelaku seni.

Dalam karyanya (Kopiana, Ganding Pustaka: 2014) kali ini, yang ditulis rentang 2011-2014, di mana terkumpul 27 puisi yang membicarakan Kopi dan ragamnya. Tidak jauh berbeda dengan karya yang ia tulis sebelumnya (Permaisuri Malamku, Divapress: 2011) ia konsisten dengan bahasa yang tidak bersayap, pengucapannya sederhana. M. Faizi lebih tergerak mencari bangunan definitif serta produksi-produksi makna baru terhadap objek yang didekatinya. Hanya saja dalam antologi yang diluncurkannya kali ini, ia sengaja menganggit kopi sebagai simpul yang mengikat antologi puisinya.

Terdapat sebuah upaya untuk menghadirkan kopi sebagai bagian suatu sejarah. Sebuah refleksi akan keganjilan realitas historis di mana kopi yang kini dinikmati hampir di berbagai lapisan masyarakat di dunia dibenturkannya dengan kondisi epidemik dan kemiskinan Ethiopia sebagai negeri asal kopi ditemukan (Sanad Kopiana, Leluhur Kopi Ethiopia). Usaha yang lain adalah kopi didudukkannya sebagai medium atau pun alat, baik sebagai medium pengantar antara bahasa ke makna (penghayatan akan hidup dan takdir yang getir) lalu ke pembaca, maupun sebagai suatu medium kultural-politis di mana kopi menjadi simbol penanda—dan inilah yang dominan—dari bertemunya segala bentuk kepentingan; dari yang temeh hingga yang lebih daripadanya; sebab kopi hanya tanda bersulang/bagi silaturrahmi dan banyak kepentingan (Qohwiyat 2).

Sayangnya hal-hal yang teranasir di atas tidak cukup memberikan intensitas yang lebih mendalam karena ketergantungannya  pada pencarian suatu spesifikasi kopi sebagai alat maupun objek dari strategi-strategi puitiknya. Tidak sedikit bait-bait yang terkesan memaksakan diri untuk menyentuh kopi serta menyeret makna dan energi puitik dalam jagad yang paling mungkin dari semesta bahasa yang berkait-kelindan dengan kopi.

Namun setidaknya, hal ini menjawab kegelisahan saya bahwa secara muatan puisi yang terkumpul dalam “Kopiana” bukanlah bentuk dari kelatahan semata, hal ini barangkali hanya menyamai—disengaja atau tidak—secara pengemasan dengan apa yang terjadi belakangan sebagai bentuk pencarian estetika sastra tematik—yang karena kurang berhasil mencari nilai fundamental dari hal-hal yang elementer—justru menjadi dekaden.

Beberapa puisi bisa kita lihat sebagai suatu biografi nostalgik perjalan-perjalanannya, misal saja puisi yang berjudul “Mato”, “Blandongan”, “Freisitz Eberswelder Straβe”; keduanya sebuah nama warung kopi di Yogyakarta dan yang terakhir di Berlin, Jerman. Juga “Warung Kopi Darmin” Jakarta, “Paragon: The Coffee Bean” di Singapura. Kesemuanya merupakan sebuah impresi dari kejadian dan peristiwa puitik di mana M. Faizi menggiring makna dan renungan ke dalam diksi.

Bila kita telisik sepintas kita dapat menengarai bahwa antologi puisi ini disusun dengan semangat yang sama dengan antologi puisi lainnya sebut saja sebagai misal, “Hikayat Pemanen Kentang” karya Mugya Syahreza Santosa,  “Petarung Kidal” karya Doddy Kristianto dan “Air Mata Kopi” karya Gol A Gong. Sebuah kecenderungan untuk mengikat puisi dari suatu tematik yang tunggal—barangkali tidak untuk sekedar kenyentrikan belaka—meski undakan diksi bisa saja berbeda dalam mengarah pada ufuk makna yang beragam.

Terdapat suatu kecenderungan yang dapat kita tandai dari karya-karya sastra (puisi) Indonesia mutakhir. Terutama yang ditulis oleh generasi belakangan dan teredar secara masif di koran-koran besar di Indonesia; sebut saja Kompas dan Tempo. Peralihan dari bentuk-bentuk konvensi yang pada mulanya puisi diperangkati oleh diksi dari objek-objek mundan untuk mencapai makna, kini berbalik arah dengan menempelkan makna ke dalam benda-benda mundan atau pun tema tertentu untuk menghidupkan apa yang barangkali dianggap sepele.

Hal ini sangat menarik bagi sebagian penyair karena selain menawarkan tantangan untuk menemukan bentuk ucap baru ia juga berpotensi untuk terlihat unik. Hanya saja semua itu terasa wagu dan kenes bila dipaksakan kepada setiap objek seakan mesti bermakna dan terasa puitis. Adalah hal yang patut bagi kita untuk membaca kemudian mencintai suatu objek; terlebih dahulu dimulai dengan iman yang skeptik.

Setidaknya terdapat suatu tawaran yang meski tidaklah baru namun merupakan suatu suguhan penting M. Faizi dari 27 puisi yang terkumpul dalam “Kopiana”. Pertama, bahwa kopi yang menjadi medium cerita ini juga disentilkan ke persoalan sejarah kolonialisasi walau tersamar dalam puisi-puisinya. Hanya saja hal ini kurang efektif nilai praktisnya bila kita kaitkan dengan konteks sejarah Madura yang lebih banyak mengalami eksploitasi di persoalan garam dan tembakau di masa-masa kolonial. Kedua, diksi kopi juga merupakan medium dalam menyampaikan penghayatan spiritualitas serta kultur-kultur dunia esoterisme di mana  M. Faizi mempersamakannya dengan “mandam yang terjaga”, kata kunci seperti “zikir”, “syukur”, “fakir” dan “takdir” akan kita temui di dalamnya. Ketiga, ini yang paling saya gemari di antara lainnya; pada gelapnya tertulis nasab/ia diminum tuan dan hamba/pada lezatnya itulah sebab/raja dan rakyat bersama suka (Himne Barista).

Puisi-puisi yang terkumpul dalam buku “Kopiana” ini tentu dapat berdiri sendiri meski mungkin saja memiliki motif dan gaya ungkap yang sama. Hemat saya tidak ada hal teknik estetik yang menjadi persoalan dalam puisi-puisi di dalamnya, M. Faizi adalah penyair yang cukup teruji secara proses-kreatif, kesemuanya tertata dengan konvensi yang utuh dan bulat. Hanya saja menjadi suatu hal yang patut dikritisi lebih lanjut adalah kontekstualisasi dari tradisi dan lingkungan yang membesarkan karyanya—terutama bila mesti dikaitkan dengan represi ingatan pembaca maupun lingkungan sosial penyairnya itu sendiri. Ini penting karena hal yang mesti digaris-bawahi dari sastra (puisi) adalah pendayagunaannya sebagai “suara lain” dari apa yang tak bisa diucapkan bahasa serta adab sehari-hari di sekitarnya.

**
Sastra mutakhir adalah produk dari hasrat industrialisasi yang keras dan tanpa henti. Ia didorong dari hisapan-hisapan konsumerisme yang menjangkit mental-mental karung pembuangan dari sebuah pabrik-pabrik raksasa. Kini puisi lahir dan bergerak tidak hanya dari ketinggian gunung dan lapangnya lembah-lembah para pertapa. Ia (puisi) bergerak bersama dan di antara lalu-lalang hibuknya kota dan asap-asap yang membubung dari knalpot. Ia dibesarkan dari pikiran yang segalanya mesti dipercepat dan maju. Ia lahir dari sebuah masyarakat yang didoktrin gaya hidupnya dari iklan dan selebritas televisi. Di mana nilai-nilai lama (dari tradisi asli) mengalami disfungsinya ketika gadget mengambil peranan merebut perhatian publik sebagai pengemban dan penyalur makna. Kesenjangan antara nilai yang diimankan dengan laku yang dibudayakan telah menciptakan patologi-patologi sebagai simptom dari sosial yang retak dan individu yang terbelah.

Di kampung halaman saya (Pamekasan) paradoks-paradoks yang timbul dari sebuah kondisi di atas merupakan kenyataan yang dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Di mana perangkat-perangkat dari adab hipermodernitas dan gaya hidup yang dibawanya menyelubungi nilai-nilai asli—dalam hal ini Islam Pesantren. Madura adalah pulaunya para aulia, tapi juga sarangnya dari pembenaran praktik-praktik kekerasan dan blaterisme. Hal ini secara umum mungkin saja juga terjadi di daerah-daerah yang baru mulai tumbuh (yang mengalami senjakalanya dalam hal-hal tradisional), di mana arah perubahan dikawal terlebih dahulu justru oleh benda-benda dan perangkat-perangkat hipermodernitas  dibanding nilai-nilai yang mampu mengimbanginya.

Apakah saya berbohong bila nilai-nilai asketik dan zuhudisme bersanding erat dengan nafsu politik dan kriminalitas yang terjadi belakangan? Apakah saya berdusta jika betapa mudahnya kekerasan dilakukan tanpa terlebih dahulu menanggalka peci dan sarung sebagai penanda dari kesantrian? Apakah saya berdusta bila pemimpin-pemimpin kultural hanya menyampaikan perihal etika dan akhlak terhadap ulama tapi mengesampingkan pendidikan politik-sosial yang sehat bagi masyarakat awam? Sehingga praktik-praktik politis hanya dapat dilakukan oleh sebagian kelompok dan diterima oleh masyarakat sebagai ketundukan yang menyakitkan! Apakah butuh anak-anak muda terjerembab dalam praktek-praktek “ilmu tiup” sementara kata-kata dan puisi mestinya cukup mampu melakukannya? Misalnya. Saya berharap ini cuma kekhawatiran konyol dan dusta belaka.

Dari peta dan geografi kesadaran yang demikian kita mesti mendudukkan estetika sebagai pondasi dari karya sastra (puisi) pada tempatnya yang paling tepat. Bahkan jika kita perlu membahasnya khusus dalam konteks perkembangan sastra—meski belakangan terdapat sebuah indikasi Madura banyak melahirkan penyair muda—hal ini dalam hemat saya justru bukanlah hal yang patut dibanggakan. Sebab bila dibaca dari rentang konsistensi penulis dan tema-tema yang dipilihnya hal ini barulah sebuah gejala dari suatu bentuk pelarian bahwa “jiwa bebas” tidak dapat lagi menemukan muaranya.

Religiusitas dan tuhan yang dicercap sebagai sesuatu yang ideal tidak lagi dapat dilihat dalam suatu lingkungan yang dipenuhi paradoks. Nilai yang mereka terima dalam tradisi Islam sukar diejawantahkan dalam kenyataan kecuali dalam ruang sunyi yang disebut puisi, karena legitimasi kesucian hanya sah bagi sebagian kelompok saja. Maka tidak mengagetkan bagi saya bila banyak penyair muda Madura menulis perihal religiusitas dan tuhan yang tampak sukar digapai.

***
Dalam sebuah diskusi dan peluncuran buku puisi “Kopiana” yang dikawal oleh M. Faizi dan Penyair Hamdy Salad sebagai narasumber. Saya hanya membayangkan bahwa andai saja hadirin yang bejibun—yang barangkali didominasi mahasiswa asal Madura—juga mendapatkan sebuah refleksi akan kegelisahan di atas. Barangkali itu akan sedikit membantu membuka kesadaran akan pentingnya sastra sebagai suatu alat perubahan yang krusial lebih dari sekedar laku “nyentrik” dan ekspresi diri semata. Ini yang barangkali tidak tersampaikan dalam durasi diskusi yang sangat pendek kala itu—meski saya yakin hal yang demikian bukan tidak pernah terpikirkan oleh kedua pembicara.

Keresahan saya terus membayang hingga saya sampai di ruang kerja saya dan terduduk sebentar memandangi sisa kopi dingin yang tercenung begitu saja di hadapan saya. Terbayang kampung halaman yang saya rindukan. Terbayang pula bagaimana puisi—termasuk puisi yang pernah saya tulis sendiri—akan berjabat tangan dengan pembaca di Madura. Akhirnya saya buka kembali buku puisi “Kopiana” yang tak sempat saya baca secara tuntas di forum diskusi dan peluncuran buku tersebut.

Saya ingin mencari sekali lagi apa yang dapat menjadikannya absah untuk mengobati keresahan-keresahan saya secara pribadi. Saya mengharapkan suatu pembacaan dari diri saya sendiri akan puisi-puisi di dalam buku “Kopiana” yang tak sekedar bentuk permakluman. Saya butuh suatu tafsir—semacam menemukan sebuah pulau yang mungkin saja tak terpetakan bagi pertanyaan-pertanyaan yang tersesat. Untuk itu saya melakukan suatu analisis yang anarkis, dengan mencoba membayangkan dan memasuki sebuah sungai kreatif sang penyair, membayangkan diri saya sebagai detak jantung penyair dengan denyut-denyut diksi yang teraba. Sekiranya memperkirakan temuan-temuan epistemologis yang mungkin dapat dijumpai di dalam karya-karyanya.

Bila dikaitkan dengan hiruk-pikuk persoalan kultur-sosial yang barangkali terjadi di Madura. Terasa bahwa M. Faizi berada dalam suatu keadaan melampaui keadaan-keadaan dimaksud. Ia berada pada suatu jarak atas konflik dalam hirarkis epistemik yang aman. Sebagai sebuah konsepsi buku tunggal  “Kopiana” bagi saya masih berada dalam suatu posisi gamang di mana daya pukulnya terhadap realitas dan pembaca umum (non sastra) sangat riskan untuk berlubang dan dilemahkan—selain kemasan buku ini tidaklah berbanding baik dengan muatan di dalamnya.

Saya hanyalah seorang pembaca setia yang memiliki harapan besar bahwa hal-hal yang telah menjadi realitas keseharian dan dihadapi masyarakat secara umum juga menjadi suatu agenda kreatif. Sehingga puisi mampu menjadi suara yang tidak hanya memberi kepuasan batiniah akan tetapi suatu kesadaran bagi pembacanya dalam laku-laku  sosial yang emansipatif. Justru karena tidak mudah menjadi blak-blakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai individu sosial yang rentan diombang-ambingkan peristiwa di sekitar kita; tapi puisi adalah pengecualian untuk hal itu. Karena karya sastra—dalam hemat saya—tidak ditulis untuk menundukkan pembacanya, lebih daripada itu adalah menggerakkan.


Yogyakarta, 2014





Ahmad Kekal Hamdani.
Penyair, kini mukim di Yogyakarta.

Versi lain baca di: [klik] jogjareviw.net

4 komentar:

M. Faizi mengatakan...

Terima kasih lagi. Saya sudah membaca dua versi tulisan Anda: sebuah kehormatan bagi saya dapat membaca tulisan yang memberikan tanggap terhadap karya saya.

ahmadkekalhamdani mengatakan...

Sama-sama, Kiai. Senang rasanya bisa saling terbuka dan diberi kesempatan untuk sekedar berkeluh kesah. Semoga catatan kecil ini bukan suatu kelancungan dari kementahan pembacaan. Salam hormat saya.

M. Faizi mengatakan...

oh, itu sudah terlewat keren: sebuah tulisan panjang yang dibuat tanpa diminta dan disuruh apalagi diteror :)

Terima kasih

ahmadkekalhamdani mengatakan...

Hhaha. Iya, Kiai. Sastra belakangan riuh sekali, semoga saja semakin sehat dan bugar esok hari. :)

Terima kasih.

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author