"Maaf, Apakah Gembala itu Masih Tidur?"



yang putus asa, hendak ke mana?

yang putus asa, itu saja!



(Alejandra Pizarnik)







"Maaf, Apakah Gembala itu Masih Tidur?"

(komentar kecil pada manuskrip puisi "Gembala Tidur" karya Ahmad Kekal Hamdani)



Shohifur Ridho Ilahi





I: Mulanya



Pada mulanya adalah mencari sebuah pintu. Pintu yang dapat membuka ruang rahasia yang disembunyikan kata-kata. Rahasia itu adalah peristiwa yang telah dibingkai. Kata-kata, bingkai itu, dalam hal ini, adalah puisi. Jadi, berhadapan dengan puisi adalah usaha memasuki dan mencari peristiwa. Jika ada peristiwa yang sudah dibingkai dan peristiwa yang bebas beraktifitas, maka yang saya cari adalah peristiwa yang bisa meloncat dari bingkai kata-kata dan memainkan aktifitasnya.



Mencari peristiwa adalah usaha pertama saya dalam menyuntuki kumpulan puisi "Gembala Tidur" (GT) ini. Saya tidak tahu apakah usaha ini akan berhasil atau justru gagal. Saya sadar usaha ini tidak mudah, dan, maaf, saya tidak punya cukup alasan untuk memaksakan diri saya sepenuhnya untuk melakukan upaya tidak mudah ini. Butuh pengetahuan yang cukup dan pembacaan yang mendalam. Ah, yag penting kan saya sudah berkehendak untuk mencari. Menemukan? Ah, itu perkara lain. Sebagaimana kisah Vladimir dan Estragon yang menunggu Godot dalam lakon Samuel Beckett. Atau sebagaimana Putra Syekh Ali al-Tatawi yang mencari Zabalawi dalam cerita Najib Mahfuz. Baik Godot maupun Zabalawi sama-sama tidak ditemukan.



II: Surat Upaya vs Gembala Tidur



Sayang sekali. Pada percobaan pertama saya gagal dalam melakukan pembacaan terhadap GT. Saya tidak menemukan pintu masuk untuk mencari peristiwa. Kekal sangat pandai menyembunyikannya. Pasalnya, sangat sederhana, membuka halaman pertama saya dihadapkan pada esei berumbul 'Surat Upaya' (SU). Betapa esei tersebut membuat saya terganggu, sebagaimana saya ketika ingin keheningan, esei itu hadir sebagai dentuman musik cadas bercampur dengan deru knalpot dan klakson yang saling bersahutan. Saya menerka esei itu adalah  tukang antar untuk memasuki isi, menyuntuki inti. Namun, lagi-lagi, kehadiran esei itu justru mereduksi puisi-puisi di dalamnya. Saya tidak tahu mengapa Kekal butuh pengantar untuk pembaca. Apakah Ia tidak cukup percaya kepada pembaca sehingga mereka perlu diantar? Apakah Ia khawatir pembaca tidak bisa melakukan pembacaan yang mendalam? Saya kira, dalam hal ini, Kekal tidak perlu risau. Bila karya telah (di)muncul(kan) ke permukaan, maka sejarah yang akan mengujinya.



Kenapa perkara ini bisa muncul? Karena SU mencuri (1) fokus dan kehadirannya merepresentasikan (2) inti atau saripati GT. SU hadir bukan sebagai (3) kata pengantar dalam rangka ucapan terimakasih bagi orang-orang yang berdedikasi seperti teman dan kekasih, melainkan (4) menyetir kemana arah wacana ditujukan. Memang, selain secara pribadi, saya lebih (3) respek pada 'puisi yang pergi sendiri' tanpa diantar oleh siapa-siapa. Sebagaimana anak TK yang berangkat ke sekolah tanpa diantar oleh Ibunya. Jelas, anak itu 'berani'. 



Pembaca yang memiliki kemerdekaannya sendiri untuk memasuki GT dengan caranya masing-masing direbut oleh SU. Sebenarnya, ketika membaca GT, saya berusaha mengabaikan SU, namun usaha itu hanya tinggal usaha, ia mencuri fokus saya, sehingga dengan rendah hati saya membacanya. Dan tentu saja, SU membuat saya menjadi tidak bersih lagi, kepala saya dipenuhi dengan bahasa dan wacana yang dilemparnya. Si Penyair sebagai subyek sangat berkuasa dalam kumpulan puisi ini. Ia menjadi 'Sultan' bagi puisi-puisinya. Deklarasi kematian pengarang ketika puisi-puisi ini dipublish dilumpuhkan menjadi deklarasi kehidupan sang pengarang. Dan pembaca kehilangan pengetahuannya karena langsung dilabrak oleh SU. Misalnya saya ambil satu contoh saja, Kekal menulis: Puisi-puisi yang tercatat dalam kitab "Gembala Tidur" ini, merupakan tulisan-tulisan yang tetas dari sebuah pertanyaan; mungkinkah manusia tanpa agama? Mungkinkah masyarakat tanpa negara? Dan selanjutnya, mungkinkah kita tanpa puisi? Pertanyan-pertanyaan yang kelewat Besar bagi puisi yang selalu hadir dengan wujud rendah hati dan wajah kemurungannya. Pada kalimat ini saja, pembaca sudah dikebiri, dimandulkan. Ketika membaca puisi-puisi di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan itu berkelindan, melesat-lesat dalam kepala, dan mempengaruhi pembacaan.



Ya, sekalipun SU dan GT adalah entitas terpisah dan berdiri di kaki sendiri, namun tetap saja 'keberadaannya' di kumpulan puisi ini memiliki posisi tersendiri yang memungkinkan untuk dibaca satu paket. Saya punya keyakinan, bahwa betapa produk-produk kebudayaan kita (seperti puisi) tidak dibesarkan oleh kontennya. Dan keyakinan itu semakin saya percayai ketika berhadapan dengan GT yang dibuka dengan esei yang kelewat 'bersuara' (sehingga puisi-puisi di dalamnya memilih diam dan terpejam). SU tidak membantu saya dalam mencari peristiwa. Jutru membuat pintu makin rapat dan sulit terkuak. Adakah ini termasuk ketidakyakinan Kekal pada puisi-puisinya sehingga mereka perlu 'diberi mesin' agar lebih bertenaga dan punya daya (di tengah-tengah masyarakat kita yang mempertanyakan kerja puisi pada ruang sosialnya)?



Hm, tentu dalam hal ini Kekal punya maksud tersendiri. Mungkin itu yang belum saya ketahui. Dan mungkin juga Kekal akan tertawa membaca tulisan yang menggebu-gebu ini. hahahaナ



III: Kekal, Eksotika Alam dan Kemurungan



Manusia sebagai 'aku-natur' dan alam (berikut dengan ekologi sosio-politiknya) sebagai 'aku-kultur' (aku-natur dan aku-kultur adalah istilah dari Afrizal Malna) akan selalu bersinggungan dan selanjutnya akan tercipta sebuah penandaan. Penandaan itu adalah hasil goresan dari pesinggungan-persinggungan si aku-natur dengan aku-kultur. Goresan tersebut akan membekas dan tak mungkin terhapus. Dalam hal ini, GT adalah penandaan dari persinggungan Kekal dengan (kultur) Madura. 



Saya mengamati, hampir semua pada puisi-puisi penyair Madura, baik yang mukim di Madura maupun yang menempa diri di Kota, simbol-simbol eksotika alam ke-Madura-an pasti hadir dalam setiap larik-larik puisinya, baik yang secara eksplisit berbicara tentang Madura maupun yang tidak. Entah apakah ini karena tradisi puisi Zawawian yang sangat kuat pengaruhnya atau alam Madura itu sendiri yang membikin jatuh hati sehingga penyair Madura tidak sanggup berpaling? Bila yang disebut pertama tadi kemungkinannya lebih besar, maka penyair (muda) Madura belum bisa membongkar tradisi kuat Zawawian. Artinya konvensi estetika puisi kita (Penyair Madura) masih berada di bawah bayang-bayang Zawawi (ini di luar penilaian baik-buruk). Dan kasus semacam ini juga kita dapati pada puisi-puisi Kekal. 



Aroma madura terasa sekali dalam GT ini. Sekalipun secara tematik puisi-puisi GT ini secara tegas tidak berbicara tentang Madura. Namun, apakah kita akan menampik kehadiran simbol-simbol eksotika alam Madura yang sudah jamak kita ketahui, seperti: laut, tembakau, jala, nelayan, ombak, asin dan lain-lain? Ya, sekalipun kita tahu bahwa laut, tembakau, jala, nelayan, ombak, asin dan lain-lain tidak hanya ada di Madura. Hampir semua daerah memiliki itu. Tetapi biografi Kekal yang menunjukkan itu: ia hidup di Madura (meski itu cukup singkat: 2000-2008. Lihat biodatanya).  



Pada puisi Tanah Bangsalan misalnya, setidaknya kita akan menemukan sebanyak dua belas kata yang dekat dengan 'laut': pasir, ombak, pulau (disebut 2 kali), angin, karang (disebut 2 kali), kapal, asin (disebut 2 kali) dan laut (disebut 2 kali). Pada puisi Lengkung Senja yang lain: laut (disebut 2 kali), angin, gelombang, pelabuhan. Senjakala: camar, lautan. Telaga Ruh: berlayar, angin, desir. Bahkan pada puisi yang secara tematik tidak ada kaitannya dengan Madura, ternyata masuk juga diksi-diksi yang berkenaan dengan laut, misalnya pada puisi Kefas: nelayan, jala, laut, ombak, penjala (disebut 2 kali).



Selain itu, saya juga melihat ada kedekatan antara puisi-puisi Ahmad Kekal Hamdani, D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi W.M.: yaitu semangat alam. Namun, tentu saja sangat tampak perbedaannya. Jika pada puisi D. Zawawi Imron alam hadir sebagai pengabdian untuk selalu menjaga dan mempertahankannya:



D Zawawi Imron

Madura



di tanah coklat yang sangat kucinta

telah beratus tahun

warna-warna kemelasan disimpan

dalam rongga kerendahhatian



di sini dulu

beberapa penguasa

dengan bangga

menunjuk ke bintang-bintang di dadanya

bintang-bintang itu ditempa belanda

dari bekuan darah kaum jelata

gemerlapan permata di bintang-bintang itu

mantulkan kilap si airmata

moyang-moyangku yang pada malang 

di sinilah dulu

kakek-kakek tua

mewariskan celurit berlumur darah

kepada anak putunya



untunglah kini

kita masih sempat melambai tangan

di atas sapi kerapan

di tingkah gending saronen, lalu

yang tersanjung oleh irama gong dan gendang

kita yang kini

ataukah arwah nenek moyang?



o, tanah tandus yang mulai mengenal air!

memintaku untuk bersyair



(1966)







Sementara pada puisi-puisi Abdul Hadi W.M. alam hadir sebagai kemurnian jiwa untuk menyatu dengan Yang Ilahi:



Abdul Hadi W.M

Doa II



Cahaya menggeliat bagi bibit

Yang tak mau bertunas lagi, turun

Dari bayang-bayang tangan-Mu, seperti embun

Pecah dari mata langit dan menyatu di bumi



Tuhan, kami yang berumah di udara dan di air

Bahagia beroleh angin dapat lagi mengalir



(1976)





Maka pada puisi-puisi Kekal alam hadir sebagai gejolak batin anak muda, berontak, ia tidak terima melihat adik-adik perempuan-nya yang diculik, geram mendapati bocah-bocah yang dipaksa tua, ya, sejak kedatangan kapal-kapal baja yang menghitami lautmu itu semuanya menjadi berubah, dan sampai kini orang-orang asing itu belum pergi, kau tahu, mereka adalah babi-babi yang terus mengembara sepanjang abad. Kejadian demi kejadian membuatnya tercerabut sehingga menolak amsal dan mempertanyakan kembali muasal bagi karang, juga rasa asin tubuh kami.  Sungguh, dalam hatinya ia hanya ingin memberi hening bagi karang.



Ahmad Kekal Hamdani

Tanah Bangsalan



kita cakapkan dengung pasir

kala nafas ombak memecah roh-roh pulau

terdengar angin mengecup

atap-atap rumah yang rendah



aku teringat tanahku. bukit-bukit kapur

langkah kaki-kaki kecil menuju surau

ladang-ladang tembakau tempatku belajar

harum udara ketika hujan pertama jatuh

di punggung tanah

-ibu yang menunggu



lelaki telah pergi untuk sendiri

menolak amsal. mencari muassal bagi karang

juga rasa asin tulang putih kami



barangkali nenek moyang kita

pernah bercumbu di laut yang sama

pada asin duka yang sama

oナ beratus mil jauhnya aku

terdampar di pulaumu



kau mengepalkan rautmu

berkisah padaku tentang jawa

tentag adik-adik perempuan yang diculik

bocah-bocah yang dipaksa tua

pun jua kapal-kapal baja

yang menghitami lautmu



(orang-orang asing itu belum pergi, kawan

babi-babi terus mengembara

sepanjang abad. dengkurnya berdengung

ke dalam tidur bapak-bapak kita)



senja telah telentang

matahari di pucuk tampak bersujud

lautan yang menenangkan diri

memberi hening bagi karang



(Lombok Utara, 2010-2011)





Semangat alam itu tampak pada diksi yang didominasi oleh metafora alam. Dan ini terjadi pada semua puisi di dalam GT ini. Saya melihat eksplorasi metafora alam dikerjakan cukup serius oleh Kekal. Di dalam GT kita akan menemukan banyak frasa yang unik, ia berupa kata-kata imajis namun tidak definitif. Ketika berhadapan dengan frasa tersebut yang pertamakali terbayang adalah abstraksi visualnya namun sulit diartikulasikan, digambarkan. Menurut saya, ini yang khas dari Kekal. Misalnya:



lengkung senja, rusuk pelukan, hitam musim, ladang seteru (Lengkung Senja yang Lain)

jemari matahari, tebing langit, lengkung langit, jantung airmata (Perbatasan Diri)

dengung pasir, nafas ombak, punggung tanah (Tanah Bangsalan)

punggung tahun, mulut maut (Kesaksian). 

jemari jala, larik sumsumku (Kefas)

gerbang waktu (Senjakala)

lengan bukit (Kata)



Namun, di sisi lain, puisi-puisi di dalam GT memiliki kecenderungan yang sama. Eksplorasi sepenuhnya pada metafora alam menyebabkan GT jatuh pada kemonotonan, datar dan kurang warna. Hampir tak ada perbedaan antara puisi satu dengan puisi lainnya (mungkin kredo Kekal adalah: kemiripan absolut.?). Beberapa titik kesamaan dalam bangunan puitikanya, pilihan diksinya, musikalitas yang senada dan sense yang sehati, seolah puisi-puisi ini ditulis pada satu momen yang sama, pada suatu situasi ketika mabuk kehilanganmu:





senja telah telentang

matahari di pucuk tampak bersujud

lautan yang menenangkan diri

memberi hening bagi karang

(Tanah Bangsalan)  

dilengkung senja yang lain

akankah kau tetap berdiri

sementara di perjalanan ini

orang-orang tak lagi mencintai bunga

dan meludahi rasa rindu

(Lengkung Senja yang Lain)





gerbang waktu yang membuka palungnya

menerima matahari. melepas arwah bangkit

dari tidur bunga-bunga

(Senjakala) 

dari pelipisku kemusnahan lahir kembali

mencatat sendiri jemari matahari

yang luruh. menyisakan lukanya

di tebing langit pertapaanku

(Perbatasan Diri)



rahmat dan pancaroba

iman dan sangsi

seumpama aku dan matahari

yang tersesat di keluasan malam

menyerah pada kuasa tidur

(Kesaksian)





kau mungkin sedang ingin menggambar

matahari lain. tapi gerisik pohonan

menyimpan dingin yang lain

(Dalam Lengang Bulan)





aku berdiri kini, pada pusaran kabut

karena matahari dalam dada


lembah-lembah meninggi

mencari langit yang lain


(Seseorang dari Timur) 

tidakkah kau dengar

bumi yang tidur

wajah murniku bangkit

dari gerisik pohonan

ketika burung-burung terlelap

dan memimpikan sayapnya

mnjangkau langit yang lain

(Telaga Ruh)







barangkali nenek moyang kita 

pernah bercumbu di laut yang sama

pada asin duka yang sama

(Tanah Bangsalan) 

Kasihku. Bulan yang melukis

Wajahnya sendiri di larik laut

Tak pernah bertanya

Dari mana asal gelombang

Dan resah

(Lengkung Senja yang Lain)



juga bukanlah laut

tempat ombak biasa menerkam

yakinku. sebab lidah-lidah api roh kudus

sampai juga di kening para nabi

(Kefas)





satu dua camar memucuk kenangan

lautan yang resah menikam detik-detik istirah

(Senjakala)



Kalau kita bandingkan GT dengan kumpulan puisi Kekal yang pertama, Rembulan di Taman Kabaret (2009), saya melihat ada pergeseran-untuk tidak mengatakan perkembangan-baik dari struktur puisinya maupun secara tematik. Namun ada juga beberapa yang masih dipertahankan. Bila pada RdTK struktur puisinya belum terbangun dengan baik. Sepintas saya melihat kumpulan puisi pertama itu ditulis ketika Kekal mengalami 'mabuk puisi', puisi-puisi mengalir deras dari tangannya dan tak mampu dikendalikan. Maka pada GT Kekal sangat hati-hati menyeleksi puisi yang akan dimasukkan pada GT ini. Kehati-hatian itu terlihat dari kesabaran kekal membangun struktur puisinya: GT lebih rapi dan sopan. Bila pada RdTK tema-tema yang hadir lebih pada kesunyian pribadi seorang penyair yang sedang terpuruk hatinya, kesunyian itu mendekam di dalam dirinya. Maka pada GT kesunyian dibebaskan, di bawa keluar, ke ruang sosialnya, ke langit yang lain ke dingin yang lain agar tidak menyerah untuk dilahirkan. Adapun yang dipertahankan adalah lirisismenya dan kemurungannya, tentu saja selain nada pesimismenya yang masih terasa:



lelaki telah pergi untuk sendiri

menolak amsal. mencari muasal bagi karang

juga rasa asin tulang putih kami

(Tanah Bangsalan)



aku cemas di sini

gemetarkan musim

yang kapan saja

dapat melemparkanku

pada perjalanan panjang

tahun penuh beku

dan risau yang melelahkan

(Lengkung Senja yang Lain)



maka salibkan aku, dengan tiang palang terbalik

sebagaimana pijak kaki tak mesti di bumi

karena arah jarak 

mestilah meninggi

(Kefas)



aku tak bisa memberimu kampung lain

untuk pulang dan istirah

(Dalam Lengang Bulan)



lalu engkau turun telanjang

mencelupkan kaki ke dadaku yang hampa

matahari rebah ke lahat bumi

mencair ke mataku yang sunyi

(Senjakala)



(api mataku, kobarlah!

jangan beri padam kata-kata

karena keasingan yang kita cintai

adalah buku-buku bagi darah dan kepalan

menyusun tulang-belulangku

pada puncak kebangkitan)

(Seseorang dari Timur)



dan menyangsi yang kelak lahir

dari mabuk kehilanganmu

(Telaga Ruh)



kematian, kasihku

milik mereka yang menyerah

untuk dilahirkan

(Tetaplah Berjaga)



lelah dengan permainannya sendiri

tuhan menjelma sebatang pohon

meratapi rasa nyilu

kala kapak mencabik-cabik

perutnya di hutan

(Metamorf)



kata adalah gembala

yang tertidur. ketiaka duka cita

menyalakannya

di langit mengerjap

(Kata)



jiwaku bangkit dan berjalan

di antara kematian-kematian

(Perbatasan Diri)



menceraikan dirinya dari kebenaran

menyepuh yang kekal

jadi butiran di langit samar

(Gembala Tidur)



aku kan'a yang tak

percaya. kebenaran datang

dari ayah dan tuhan

sebab di mulut maut yang sejuk

kutemukan wahyuku

berdekap tatap

dengan wajahKu

sendiri

(Kesaksian)



hatiku membiarkan segenap

dukalaranya tersesat

di lembah-lembah

di mana hanya rindu

yang mampu diharap

(Enigma)



puisi yang datang padaku

pergi dengan dada tersayat

luka tangan kurusku

(Tangan Icarus)





IV: Di mana Peristiwa Itu?



Menyambung di awal, apakah saya menemukan peristiwa dalam GT ini? Peristiwa yang saya temukan dalam GT ini adalah situasi paradoks. Saya menghadapi teks puisi dengan suasana alam purba yang seperti belum tersentuh oleh orang-orang asing. Namun melihat perkara kita, Dunia Ketiga, nyaris semua persoalan kita adalah persoalan yang dibawa oleh orang-orang asing itu. Bagaimana kita melihat kebudayaan kita dengan jernih sementara ia telah lama melakukan aktifitas hibriditas kebudayaan dan membuat kita (generasi kini) berada dalam situasi di antara. Ketidaksadaran sekaligus kesadaran dibabat batas-batasnya. Salman Rushdie dalam Imaginary Homeland (1981) menyinggung ini: Kita kadang tidak sadar telah menunggangi dua kebudayaan sekaligus dalam satu waktu. Di sisi lain kita gamang memilih dua kebudayaan yang berbeda? Bagaimana kita melihat puisi eksotisme alam-nya Kekal sementara kenyataan sejarah membuktikan bahwa kapal-kapal baja yang menghitami lautmu betul-betul merusaknya dan alam kita sudah tidak eksotis? 



Saya menerka GT dengan eksotisme alamnya sengaja dihadirkan dalam rangka untuk 'mengevakuasi dirinya (Kekal)' sebagai subyek yang mengalami alienasi. Ia memilih eksotisme alam sebagai alternatif dalam mengorganisir keterasingannya dan melakukan penandaan dengan meminjam wujud eksotime alam sebagai bahasanya.  



Duh, apakah saya nasib saya sebagaimana kisah Vladimir dan Estragon yang menunggu Godot dalam lakon Samuel Beckett atau Putra Syekh Ali al-Tatawi yang mencari Zabalawi dalam cerita Najib Mahfuz? 



V: Akhirnya



Pada akhirnya saya tahu, dan kawan-kawan juga tahu, bahwa tulisan ini bukanlah kritik sastra di mana karya diperlakukan dengan cara terhormat, saya tidak punya kapasitas pengetahuan untuk melakukan itu. Tulisan ini semacam aplikasi suka dan komentar kecil di facebook: bisa dianggap serius, bisa juga diabaikan. 



Salam!



Yogyakarta, 02 Maret 2014


Keterangan:
1. Catatan ini merupakan tulisan untuk diskusi manuskrip bakal buku "Gembala Tidur".
Sumber: http://shohifurridhoilahi.blogspot.com/2014/03/maaf-apakah-gembala-itu-masih-tidur.html

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author