Oleh Ahmad Kekal Hamdani
Ketika
seorang karib—penyair dan juga penggerak sebuah penerbitan indie di Yogyakarta—Irwan
Bajang, meminta saya untuk menjadi pemantik diskusi buku “Sastra, Nasionalisme,
Pascakolinialisme (Pustaka Hariara, 2013)” karya Katrin Bandel tiba-tiba ada
sebuah bisikan aneh yang mengerubungi pikiran. Saya yang kebetulan sedang
berlibur di kampung (Madura) hampir 2 bulan untuk suatu keperluan seperti
mengalami suatu keterlemparan telak. Saya yang akhir-akhir ini jauh dari
hiruk-pikuk agenda sastra, yang mengisi keseharian hanya dengan mengurus ternak
Ayam dan Kambing di halaman belakang rumah mesti membangun jembatan kembali
terhadap ide dan pirasa perihal nasionalisme, sastra, dan pascakolonialisme.
Bagaimanakah
saya, tentu saja sebagai orang udik mesti melakukan perjalanan ke hulu
jauh? Menyambung kembali tali merah pada represi sejarah masa lampau yang tentu
saja tidak pernah saya alami? Bagaimanakah saya mengatasi pikiran saya sendiri
yang ditatar dengan hal yang jauh dari pengalaman saya sehari-hari? Ide-ide
yang kita pelajari di bangku akademik dengan sistem modern, kita yang hidup
dengan cara mengais adab modern dari sampah-sampah industri, akhirnya mesti
berbicara tentang pascakolonialisme? Saya yang barangkali termasuk sebagai sub-altern
sekaligus bagian dari masyarakat paskakolonial nyaris muskil terhindar dari
kegagapan bahkan untuk mendefinisikan diri sendiri!
Saya
merasa senang mendapat kesempatan untuk mendiskusikan bersama buku karya salah
satu kritikus sastra paling berkompeten ini. Selain saya juga kerap mengikuti
karya-karya Katrin Bandel melalui media online dan jurnal seperti Boemi
Poetra, saya tak bisa menolak tawaran ini sebagai upaya memperpanjang
pertanyaan-pertanyaan pribadi di atas. Karena belakangan, sastra bagi saya
sendiri terasa sangat hambar, di mana-mana kita temukan keseragaman yang
membosankan, visi yang sangat moralis tapi jauh dari tema-tema aktual yang
mengena langsung pada persoalan mendasar yang kita hadapi sebagai warga dari
negara yang sedang berkembang; anak tiri dari kolonialisme yang berabad-abad
menghujamkan cakarnya ke dalam kesadaran kita.
***
Kumpulan esai terpilih karya Katrin ini memang tidak bisa kita sebut sebagai buku teori. Daripada berpanjang lebar mendeskripsikan paskakolonialiasme ia lebih menggunakannya sebagai perangkat ataupun pisau analisis mempersoalkan diskursus sastra dan karya sastra itu sendiri. Saya tidak menemukan suatu bangunan utuh pandangan Katrin dalam menjelaskan apa itu sastra, nasionalisme, ataupun pascakolonialisme! Namun beberapa hal yang patut kita garis bawahi adalah sumbangannya yang tidak sederhana dalam menjelaskan sekaligus mempraktekkan apa yang dinamakan dengan politik sastra!
Sampai di sini
kita akhirnya tiba pada pengetahuan (knowledge) sebagai kekuatan (power),
sebagaimana dipahami Foucault, yang juga menjadi landasan utama Said dalam
mempreteli praktek kolonialisme Barat pada akhir abad 19 dan awal abad 20
selain teori hegemoni Gramsci. Kaitan antara pengetahuan dan kekuatan yang bertalian
sisi bagai dua sisi mata uang ini, tidak bisa kita lepaskan dalam membincangkan
segala hal yang ada masyarakat kini.
Seperti
kecurigaan saya, memang tidak banyak karya yang bisa kita masukkan dalam
membincangkan sastra pascakolonial. Apalagi jika kita menggunakan satu dari dua
deskripsi umum yang diutarakan Katrin sebagai sastra pascakolonial; yakni karya
yang bermuatan dan mencerminkan semangat pascakolonial serta perlawanan
terhadap kekuatan (budaya) global, utamanya yang lahir dan diakibatkan dari sejarah
kolonialisme sebagai efek yang kita rasakan hingga kini.
Seperti yang
kerap kita temukan, esai-esai Katrin didominasi objek pembahasan karya yang
kurang lebih sama. Ini bukan suatu bentuk kritik saya, tapi lebih sebagai
harapan—meski memang tak mudah dipikulkan pada satu atau dua orang—agar
bahasan-bahasan semacam ini tidak hanya ditujukan kepada karya-karya yang telah
dibesarkan oleh perangkat-perangkat hegemonik suatu kelompok. Karena jika kita
memakai pengertian dasar pertama dari Katrin perihal sastra paskakolonial
sebagai karya yang ditulis oleh pengarang dari negara-negara bekas
jajahan—dalam hal ini Indonesia—kerja ini menjadi sangat menguras tenaga dan
menuntut keterlibatan dari banyak pegiat.
***
Sukar bagi kita
kini untuk berbicara tentang paskakolonialitas tanpa menarik garis tegas Barat
dan Timur secara dikotomik. Antara masyarakat dan budaya bekas penjajah dengan
yang terjajah, yang dikuasai dan menguasai. Berbicara tentangnya adalah
berbicara tentang kekuatan dan politik. Itu sebabnya, bagi saya, sangat
memilukan tentunya jika sastra
pascakolonial yang tergolong sebagai disiplin baru ini hanyalah deskripsi suatu
keadaan tanpa menjadi suatu bentuk praktek perlawanan atawa pembebasan dari asumsi serta stereotip hegemonik yang mendudukkan
masyarakat “terjajah” sah sebagai sapi perah abad kini.
Kegetiran itu
akan semakin kita rasakan dengan menyadari bahwa kita telah menggunakan senjata
dan alam pikir Barat untuk mengingatkan bahwa Timur berbeda dan bahkan setara.
Saya tentu tidak berharap sastra kita berisi rengekan dan rintihan pada Bapak
tiri yang sejatinya lebih banyak mengeruk daripada memberi apa yang mampu diberikannya;
ketika bangsa-bangsa Timur dan negara-negara berkembang menemukan dirinya sebagai
kebenaran, Barat dalam hal ini telah menemukan dirinya sebagai kekuatan!
Pamekasan, 2014
Keterangan:
Tulisan
ini merupakan bagian pertama dari tiga catatan kecil saya pasca-diskusi buku “Sastra,
Nasionalisme, Pascakolonialisme” karya Katrin Bandel pada 10 Mei 2014 di
Pendopo PGSD Kampus II Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar