Oleh Ganz (A. Ganjar S.)
Kematangan yang Tajam dalam Pengolahan Menuju Persepsi: Faktor Peninjauan Psikoanalisis
Ketajaman
seorang penyair untuk menuliskan sajak-sajak yang “pisau” membutuhkan
proses kreatif yang tak instan. Secara psikologis, terdapat beberapa
tahap sebelum seorang penyair melahirkan sajak. Tahap pertama yaitu
tahap penginderaan (peran serta indera secara fisiologis dari sebuah
interaksi sosial), tahap sensasi (pengolahan informasi dari hasil
penangkapan indera) akan membuahkan sebuah persepsi (sebuah proses di
mana impuls-impuls sensorik diatur dan diterjemahkan), dan yang kemudian
dituangkan lewat sajak. Tentunya, kematangan itu akan semakin
bekesinambungan juga tajam jika penyair tersebut mau dan mampu belajar
tentang kondisi (pengalaman, “status” sekarang dan orientasi ke depan)
dirinya. Tentang bagaimana ia mengolah suatu informasi hingga menjadi
persepsi sebelum menjadikan keutuhan sebuah sajak yang terlahir.
Kematangan dalam menanjamkan proses inilah yang memberikan pengaruh
besar bagaimana peran psikoanalisis bisa memasuki dan membedah
keberadaan sebuah sajak.
Maksud dan Biografi Singkat
Selanjutnya
saya tidak akan mengulas tentang bagaimana cara dalam mencapai
kematangan seorang penyair, namun ada apa dengan sajak yang telah ia
lahirkan dengan percobaan tinjauan psikoanalisis. Ulasan kali ini adalah
dua sajak dari penyair yang masih muda. Ahmad Kekal Hamdani, kelahiran
Jember 5 Agustus. Semasa kecil, penyair ini bercita-cita menjadi
pelukis. Sewaktu SMA kerap memenangkan lomba lukis, karikatur,
cipta/baca puisi dan musikalisasi puisi tingkat lokal maupun regional.
Sajak-sajaknya pernah dimuat di media massa baik lokal maupun nasional
(selain menulis sajak, juga menulis esai, cerpen maupun vignet), dan
diterbitkan dalam buku yang berjudul “rembulan DI TAMAN KABARET”. Sekarang ia masih berstatus mahasiswa jurusan aqidah dan filsafat UIN di Yogyakarta.
Dua Sajak A.Kekal Hamdani
Berikut ini dua sajak tersebut:
Stasiun Sehabis Hujan
-3 sajak untuk kecemasanIKursi-kursi panjangyang tuayang risauia sedang membaca koranada yang mengukur bayang-bayangHujan pecahlantas rebah, memeluk sepatu:Berkisah tapak tentang waktuIISehabis hujanyang lengangKursi-kursi panjangtapak berdebam: lalu hilangIIIKereta melintassehabis hujan, di jendela.gambar bibirmumembekas, kereta menujuyang ditinggalkan dan pergi: ibu[ ](Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal.67)Epitaf Laut
IKapan laut akan tertidur ibu?Sesungguhnya, pada surup waktu bila malam melipat muramada yang berdesir ke lubukku, seperti sampan-sampan sunyibila membelah riak-ricik, namakulah itu: lautBila ditegakkan cahaya, di timur orang-orang mengemasnasib dan keberangkatan. kita sedang di sini mendengar bisikperjalanan, tapak yang berdengung ke utara di jalan heningkota-kota tua, tempat setiap peristiwa ditulisdan dibukukan menjadi puisi. akulah itu: lautIa terduduk di situ, menunggu sesap di batinnya lebih dalammembuka jendela, menunggu hujan lebih resap ke akar-akaryang menjalar di kakinya, mengikat jarakantara gerak gelombang dan diam airmatanamakulah itu: lautIIKapan laut akan tertidur ibu?Tak kutulis ibu, gugur asin laut yang bergulirsetiap matamu terbuka dan bersidekap dengan lukakuselintas sesap ke langit menjadi perahuberlayar bersama angin. Itu karena ibu, matamu adalahlanskap dalam batinku, seperti titik hujanangslup ke dalam dadaku: laut ituIIIKapan laut akan tertidur ibu?Lantas perlahan ia tutup jendelaseperti mengatupkan kenangan dari masa lampaugelombang ingatan: perih itu bernama laut[ ](Sumber: “rembulan DI TAMAN KABARET” sehimpun sajak {2009}, hal. 76)
Inspirasi Puitik, Gaya Puitik, Kejeniusan Natural: Hubungan dengan Alam Bawah Sadar
Ada
beberapa hal khusus yang perlu diperhatikan sebelumnya, yaitu tentang
inspirasi puitik, gaya puitik dan kejeniusan natural. Penyair (Ahmad
K.H.) sepertinya memiliki maksud inspirasi puitik dan gaya puitik yang
cukup bertenaga pun gemulai dalam membuka maupun menutup kedua sajaknya.
Pada sajak pertama, ia melakukannya dengan pendiskripsian tegas yang
kemudian ditutup dengan kata induktif yang mencoba mengonklusikan
rangkaian sajak tersebut. Pada sajak kedua, dimunculkan daya tarik dalam
semiotika kalimat tanya dan ditutup dengan konsep paralel untuk setiap
bait hingga bait akhir. Sedangkan dalam kejeniusan natural (bagaiamana
seorang penyair menangkap simbol-simbol alam untuk dibawakan dan
dimaknakan dalam sajak) yang dimiliki oleh kedua sajak tersebut terasa
lebih kental pada sajak “Epitaf Laut”. Dalam sajak tersebut memiliki
kosa kata yang lebih variatif dari pada sajak sebelumnya. Di “Epitaf
Laut” kiranya simbol laut ini mudah untuk dipecahkan secara teka-teki
makna. Pada bagian III terdapat korelasi antara kata “laut” dalam
kalimat tanya dengan kata “laut” di akhir bait: “perih itu bernama
laut”. Nah, inilah salah satu ciri kelihaian seorang penyair dalam
mengasah kejeniusan natural.Tentunya tiga hal yang perlu diperhatikan
dalam terciptanya sajak ini memiliki interdependensi dengan pengalaman
alam bawah sadar penyair.
Pada
sajak “Stasiun Sehabis Hujan”, terlihat bahwa ada keterpautan antara
kecemasan dengan penciptaan sajak. Di sini ada sebuah langkah untuk
melepaskan emosi (kecemasan itu) melalui pelahiran kata-kata semacam
“risau”, “bayang-bayang”, “pecah”, “rebah”, “berdebam”, “hilang”,
“ditinggalkan”, dan “pergi”. Kata-kata tersebutlah yang merupakan
“anak-anak kecemasan” dari seorang penyair. Perasaan cemas sendiri telah
memfungsikan dirinya sebagai tanda bagi ego. Ego berusaha sekuat
mungkin menjaga kestabilan hubungannya dengan realitas, id, dan
superego. Namun, ketika kecemasan mulai menguasai, ego berusaha untuk
mempertahankan diri. Dan, di sini muncul suatu mekanisme pertahanan ego
yang menjelma sebuah penulisan sajak. Dalam kata yang lain, ego
merupakan representasi dari sebuah realitas, id merupakan representasi
dari kebutuhan biologis sedangkan superego adalah representasi dari
rangkaian nurani (conscience). Alam bawah sadar penyair (dalam hal ini kecemasan) menjadi semakin kuat ketika terdapat dalam tiga bait berikut:
(1)“Hujan pecah
lantas rebah, memeluk sepatu:
Berkisah tapak tentang waktu”
(2)“Kursi-kursi panjang
tapak berdebam
: lalu hilang”
(3)“…kereta menuju
yang ditinggalkan dan pergi
: ibu”
Pada bagian pertama unconscious mind penyair mendorong munculnyadisplacement,
yaitu upaya untuk memindahkan perasaan tentang waktu yang menekan
dengan benda sebagai target simbolik. Kata (benda) itu direalisasikan
dengan “sepatu”. Pada bagian kedua, unconscious mind penyair
lebih condong menuju represi. Dalam teorinya, Anna Freud pernah menyebut
dengan “melupakan yang bermotivasi”. Metafor “kursi-kursi panjang”
mengindikasikan ada semacam ingatan yang ingin dan segera dilupakan atau
dilalui. Dengan demikian kecemasan yang membentuk represi sedikit demi
sedikit akan memudar. Hal ini ternyatakan dalam kata “: lalu hilang”.
Sementara itu pada bagian ketiga, mekanisme pertahanan ego penyair
muncul dalam bentuk introjeksi atau kadang disebut juga sebagai
identifikasi. Mekanisme ini bekerja dengan cara membawa keperibadian
orang lain masuk ke dalam diri penyair. Kata “ibu” adalah kunci dari
identifikasi tersebut dan dengan melahirkan kata tersebut ada rasa untuk
melepas kecemasan sebagai langkah untuk merenggut rasa aman guna
meneguhkan identitas penyair. Kata tersebut dapat juga menyumbangkan
arti tentang bagaimana hubungan antara kehidupan penyair dan ibunya yang
dalam tahap perkembangan di tahap phallic di mana terdapat
rasa “kenikmatan hubungan” atau lebih sering disebut dengan krisis
oedipal. “Ibu” yang berfungsi sebagai objek “cinta” menjadi dimunculkan
melalui alam bawah sadar dan menjadi identif dalam kata di bait
tersebut.
Hubungan
antara karya sastra dengan persona dipertegas oleh Freud, yang
memandang bahwa seorang penyair tak lebih dari seorang “pelamun” yang
lari dari kenyataan hidup. Ungkapan freud itu rupanya bersepadan dengan
sajak “Epitaf Laut”.
“kapan laut akan tertidur ibu?
…..
… : perih itu bernama laut”
Potongan
sajak tersebut menyematkan seorang yang masih berkutat pada persoalan
hidup yang sangat berat dan mencoba supaya persoalan itu pergi. Namun,
hidup tanpa persoalan sama halnya tak hidup. Di sini pun masiih
ditemukan kata “ibu” yang rupa-rupanya adalah pertanda tentang penyair
ini, bahwasanya masih melalui krisis oedipal (mungkin sepanjang hidup).
Saya belum tahu tentang kehidupan yang dilalui sebenarnya, namun lewat
semiotika bahasa yang ia susun sedikitnya dapat meraba. Tidak hanya pada
sajak yang sedang saya ulas saja, tapi sama halnya dengan sajak-sajak
lain. Terlepas dari itu, ada apa dengan laut? Mengapa di setiap bait
penyair ini meletakkan kata laut? Deskripsi tentang laut bisa saja
meluas dalam sajak ini, tapi penyair telah menciptakan arti (creating of meaning)
sendiri bagi kata “laut”. Di sajak ini diketemukan tiga kata yang
mencoba untuk menciptakan konklusi di masing-masing bait, yaitu
“namakulah itu”,”ke dalam dadaku”, dan “ingatan”. Ketiga kata ini
merupakan kata induktif sebelum merujuk pada laut. Penyair mencoba
memproyeksikan pengalaman-pengalaman inderawinya dengan menggunakan tiga
kata yang bisa membuka kamar kosong berisi alam bawah sadarnya. Lantas
bagaiamana dengan bentuk pelarian penyair dari kenyataan? Beginilah ia
mencoba melakukan displacement setelah memupuk represi:
“Lantas perlahan ia tutup jendela
seperti mengatupkan kenangan dari masa lampau”
Inspirasi
puitik, gaya puitik, dan kejeniusan natural tak bisa terlepas dari
pengalaman-pengalaman bawah sadar si penyair. Di sajak “Epitaf Laut” ada
sesuatu yang sepertinya terlalu dalam untuk diselami. Sesuatu itu
mungkin seperti superego di masing-masing pribadi yang tak mudah untuk
ditebak.
Psikoanalisis: Embriologi Kepribadian
Sepertinya,
tidak salah bahwasanya sajak merupakan proyeksi dari si penyairnya,
juga tempat meletupkan represi secara positif dan tenang melalui
semiotika yang terlihat memiliki gayanya yang khas. Ulasan yang ditinjau
dari teropong psikoanalisis ini secara tidak langsung juga adalah
sebuah embriologi kepribadian. Bagaimana si penyair mengekspresikan unconscious mind-nya
pada lekak-lekuk kata dan makna, mengulang-ulangnya menjadikannya lebih
matang dan tajam hingga memiliki kedalaman arti yang lebih bagi
pembaca.
“…dengan bakatnya(penyair) yang istimewa dia menjalin khayalan-khayalannya menjadi suatu kenyataan hidup baru yang oleh orang-orang lain disambut sebagai cerminan hidup yang berharga.”[Sigmund Freud]
Salam.
Semarang, 2010
Referensi:
Endrasawara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPress.
Broere, C. George. 2008. General Psychology. Yogyakarta: Prsima Sophie.
Hamdani, Ahmad Kekal. 2009. rembulan DI TAMAN KABARET. Yogyakarta: PondokMas Publishing.
Jones, Ernest. 2007. Dunia Freud. Yogyakarta: IRCiSoD.
- esai ini pernah dimuat di tabloid "Bali Bicara" -
Link Sumber:
0 komentar:
Posting Komentar