~Ahmad Kekal Hamdani
Sebuah bandul raksasa bernama Indonesia tengah
berpusing di atas horison kita. Sebuah bandul waktu yang berpusing menciptakan
dengung panjang sejarah-sejarah purba dari kekuasaan dan hasrat manusia untuk
bicara. sebuah narasi baru (pascakolonial) masyarakat modern membela segala
kepentingannya –kedaulatan, kemerdekaan, kemanusiaan, bahkan kemakmuran. Sebuah
imajinasi raksasa yang diharap mampu menengahi segala kompleksitas masyarakat
kita untuk berdiri di kakinya sendiri, menjadi tuan rumah di tanahnya sendiri.
Sebuah kambing hitam untuk membela
kepentingan serta melakukan jual-beli terhadap nilai-nilai mendasar kemanusiaan
abad kita. Untuk itu para pembesar-pembesar pertama (tokoh-tokoh nasional,
budayawan, seniman maupun pemimpin keagamaan) bangsa kita telah dengan
“sukarela” berpolemik demi merumuskan suatu tatanan di atas realitas masyarakat
yang sekian lama ber-evolusi membentuk identitasnya.
Itu sebabnya sangat mudah bagi siapa pun
untuk berbicara atas kepentingan Bandul ke-Indonesia-an ini.Tetapi berbicara
persoalan-persoalan mendasar di luar batas-batas identitas imajinal (yang
dibayangkan) tak semudah janji dan jargon politik, tak seindah puisi-puisi
bening yang menawarkan keindahan alam dan pirasa romantik. Sebuah percepatan
diupayakan, diledakkan di atas punggung sejarah; sebuah revolusi maka lahirlah.
Namun sayangnya, sejak awal kesadarannya para
cendekiawan kita telah memposisikan dirinya sebagai anak-cucu adab dunia “Kami
adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia” yang hadir kepada kita
lewat pintu kolonialisme. Sejarah ke-Indonesia-an kita rupa-rupanya merupakan
sebuah dentuman beruntun yang hulu ledaknya datang dari benua lain dengan
peradabannya yang dianggap lebih tinggi –dengan ilmu dan teknologi modernnya.
Bandul raksasa itu, yang kini berpusing di langit-langit kita rupanya datang
dari hulu yang jauh.
Dalam
karyanya Orientalism (1979) Edward Said menjelaskan bagaimana Barat
secara intelektual telah menciptakan dunia Timur (negara-negara pascakolonial).
Sejalan dengan banyak sarjana beranggapan bahwa negara-negara pascakolonial
dalam struktur, konsep kebijaksanaan dan ideologinya merupakan fotokopi
negara-negara kolonial. Revolusi kemerdekaan untuk memperteguh kedaulatan tak
lain sebuah upaya lepas dari negara induk (kolonial). Sebab mentalitas,
struktur ekonomi maupun sosialnya merupakan turunan dari masa-masa kolonial.
Pendapat semacam ini tentu tidak benar
seluruhnya. Akan tetapi patut kita pertimbangkan keabsahannya terutama dalam
konteks masyarakat Indonesia kini. Ke-Indonesia-an yang kemudian lahir dari
rahim kolonialisme –suatu letupan sejarah di mana kita tidak bisa melepaskan
diri dari catur global negara-negara Eropa- adalah suatu “kemolekan” yang
mengerikan.
Ia (Indonesia sebagai realitas yang
dibayangkan) tak ubahnya seperti lukisan Moei Indie yang berarti ‘Hindia
Molek’, yang tak hanya secara visual memiliki bentuk indah, permai, dan damai.
Tetapi lebih dari itu, secara konsep dan muatan di dalamnya ia memiliki misteri
yang mengancam, sebuah kegelapan apokaliptik dari abad yang menyembunyikan
kehancuran adabnya di balik kecantikan.
Pun demikian jika kita melihat persoalan
ini dari sejarah sastra Indonesia modern. Sejak polemik kebudayaan pertama
antara Radjiman Wediodiningrat dan Tjipto Mangunkusumo hingga polemik yang
bergulir setelahnya. Kita melihat bagaimana upaya pembentukan
kesadaran-kesadaran baru dilakukan. Mulai dari persoalan Timur dan Barat,
Sastra kedudukan serta sikapnya terhadap politik, sastra berpihak maupun sastra
kontekstual, sastra sufisme, perkelaminan atau sastra wangi, sastra lokalitas,
sastra islami, bahkan terakhir yang butuh diuji kembali kedudukannya yakni
sastra kuliner, pencak silat dan sejenisnya.
Menarik untuk menjadi contoh kasus adalah
beberapa prinsip kepenyairan yang ditulis ‘Raudal Tanjung Banua’ di dalam
pengantar kumpulan puisi terbarunya “Api Bawah Tanah” (Akar Indonesia,
2013). Saya sederhanakan demikian; pertama, Ulang alik antara yang
personal dan yang sosial, yang memungkinkan penyair (sebagai salah satu subjek
kebudayaan) tidak pernah benar-benar ditinggalkan maupun meninggalkan. Kedua,
Puisi idealnya memiliki rujukan yang jelas -akhirnya visi yang jelas. Ketiga,
puisi mesti membangun dirinya di atas tradisi yang dihidupi dan
menghidupinya.
Secara prinsipil sikap di atas bukanlah
kebaruan dalam wacana sastra kita. Kita dapat menemukan anasirnya di berbagai
perbincangan perihal sastra Indonesia modern. Namun melihat konteks
perkembangan mutakhir dari sastra (puisi) kita buku ini menemukan moment
tepatnya. Setidaknya sebagai sebuah hulu ledak kecil di tengah kegelisahan beberapa
pegiat muda –terutama di lingkungan pergaulan penulis- yang belakangan
mengalami kelumpuhan visi meski tidak di wilayah produktifitas tentunya.
Secara konsep terasa benar kumpulan ini
“Api Bawah Tanah”, dirancang untuk melakukan pukulan keras terhadap
sosi0-kultur sastra mutakhir. Satu dasawarsa pasca reformasi ketika arus
informasi yang diikuti oleh serbuan media sosial membuat sastra menjadi cair
dan tak terpegang. Meski jika kita lihat dalam satuan-satuan kecil puisi di
dalamnya hal ini tentu menyediakan ruang kosong –untuk tidak dikatakan
kelemahan- mengingat muatannya yang bagi hemat penulis cukup berat; karena
membutuhkan pembacaan mendalam akan tradisi, konteks sosio-kultur, politik
mutakhir serta prilaku sastra itu sendiri berkenaan bagaimana hal itu
diejawantahkan pada kedudukannya sebagai seni.
Dari segala wacana di atas, setidaknya
kita bisa memetik suatu pengertian bahwa bagaimanapun kini kebudayaan tidak
dapat diupayakan hanya dengan memahami kedudukannya sebagai sesuatu yang utuh.
Subjek dan kemungkinannya berada di level yang juga nyaris muskil direka dan
sporadis. Kita pada akhirnya akan sampai pula pada kebuntuan dan pertanyaan;
mungkinkah suatu kebudayaan –yang diidealkan- dapat dirancang? Sejarah telah
membuktikan utopia-utopia semacam itu mesti takluk pada ledakan kecil tak
dinyana.
Puisi-puisi Raudal rupanya mencoba
memahami hal ini dan mengajak kita “melihat kembali” kemolekan dari zaman kita,
untuk tidak terhipnotis oleh bandul raksasa yang melenakan kesadaran kita.
sebagai upaya kritis menyalakan tungku api; Mereka yang membunuhku/akan
dibunuh oleh waktu/setiap yang dipadamkan/akan nyala lebih dalam/setiap yang
dilenyapkan/akan bersekutu dengan akar/jadi api bawah tanah,/jadi puisi tanpa
nama/jadi lapar seribu nama (Api Bawah Tanah). Sebuah optimisme bahwa tiada
yang benar-benar lenyap, mati ataupun terkubur.
Ia merupakan upaya memenangkan yang abadi (masa lalu atau yang dibayangkan sebagai yang asali) namun secara paradoks dan serentak meneguhkan pula yang sementara (the other).[]
Ia merupakan upaya memenangkan yang abadi (masa lalu atau yang dibayangkan sebagai yang asali) namun secara paradoks dan serentak meneguhkan pula yang sementara (the other).[]
Yogyakarta, 2013
1 komentar:
Casino Games | DrMCD
Play 과천 출장마사지 exciting slots, table games, bingo, 충청남도 출장샵 and 천안 출장안마 more at DrMCD. Join DrMCD today for access to exclusive 포항 출장마사지 bonuses, promotions 경상남도 출장샵 and exclusive games.
Posting Komentar