PENYAIR DAN EMBANAN



 [Sumber Ilustrasi]

Esei Ahmad Kekal Hamdani

Tuhan barangkali tak pernah berniat untuk menciptakan seorang penyair. Meski tentu saja Ia menciptakan kata, yang dengannya manusia (Adam) diajari tentang nama-nama (pengetahuan). Di dalam Quran ditera bahwa penyair selalu diikuti oleh orang-orang yang dungu. Penyair gemar berkeliaran dan tersesat di lembah-lembah (khayal) dan mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan. Kenyataannya sejak zaman bahuela kita telah dikerumuni oleh cerdik-pandai berkata-kata (penyair), keberadaannya hampir selalu sebagai personifikasi yang jadah dan menyempal. Meski kemudian Quran memberikan kriteria pengecualian bagi penyair-penyair yang beriman, beramal salih, dan melakukan pembelaan ketika dizalimi.

Sepintas kita bisa memahami bahwa betapa dogmatiknya Quran mempersonifikasikan tentang kepenyairan. Apakah Muhammad Saw sebagai manusia yang tumbuh di tengah-tengah kaum jahili tidaklah jauh dari kondisi serta konsepsi Plato ketika memandang kedudukan penyair di tengah-tengah republiknya? Bahwa penyair (dan seniman secara umum) merupakan penghambat dari jalinan sosio-kultur dan politik suatu negara!

Tentu pandangan di atas kuranglah tepat. Karena pada kenyataannya, sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa hadist, Muhammad Saw justru memberikan banyak simpati serta penghargaan terhadap syair maupun penyairnya. Sebagaimana banyak kita temukan dalam kitab-kitab agama besar di dunia yang ditulis dengan bahasa sastrawi, kita juga merasakan bahwa personifikasi penyair sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an surat as-Syuara (para penyair) sangatlah terikat dengan nilai-nilai moral-etik. Kita tampaknya tak bisa gegabah dalam memberi tafsir bagaimana simbolisme di dalam kitab-kitab suci perihal kepenyairan.

Afrizal Malna dalam esainya “Pernyataan-Pernyataan Kepenyairan” yang terkumpul dalam “Sesuatu Indonesia (Bentang, 2000)” mencoba merunut personifikasi kepenyairan dengan menggali penampakan tersembunyi pada puisi penyair-penyair dalam khazanah perpuisian kita. Mulai dari Ajip Rosidi, Heru Emka, Acep Zamzam Noor, Goenawan Mohamad, Saini K.M, Subagio Sastrowardoyo, Widji Thukul dan nama-nama yang lain. Beberapa karya dan nama yang disitirnya telah memberikan gambaran-gambaran personifikasi kepenyairan yang bagi Afrizal justru paradoks satu sama lain bahkan dalam arkeologi tubuhnya sendiri.

Paradoks-paradoks komunikasional yang direntangkan Afrizal di dalam esainya ini menuntut suatu tindakan bahwa penyair pada hakikatnya tak bisa dibiarkan sendiri. Hal ini mesti dijembatani dalam rangka menghindari pengulangan jurang yang terlampau dalam antara penyair, pembaca dan realitas pola-pola komunikasi masyarakatnya di tengah rekayasa-rekayasa tunggal yang kehilangan dinamikanya. Afrizal sampai pada pernyataan bahwa dunia kepenyairan tidak cukup representatif bila semata diperlakukan sebagai realitas sosiologis sebagaimana juga jika hanya dilihat sebagai realitas kreatif. Afrisal dengan kata lain seperti berupaya menggelar peta pada kepingan pulau yang sejatinya terbelah dan compang-camping.

Di banyak pembahasan kita menemukan puisi serta kepenyairan diletakkan sebagai bentuk krusial dari terciptanya kebudayaan ideal—jika tak hendak kita katakan kepenyairan sebagai sesuatu yang adiluhung. Hal itu tentu sah meski tak harus kita serap dan tindak sebagai sesuatu yang heboh. Pemahaman tentang hal ini dari waktu ke waktu telah mengalami banyak pergeseran yang tak selalu linear seiring bangun-runtuhnya konstruksi peradaban dan kebudayaan manusia.

Dalam realitas sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri—juga sebagai bagian dari narasi global negara-negara modern—puisi dan kepenyairan masihlah memelihara kerumitan-kerumitan definitif dalam meletakkan posisinya. Kenyataan pahitnya; setinggi apapun konsepsi tentang hal ini dilemparkan menjauhi orbit penciptaan kreatifnya, ia mendapati dirinya tetaplah tak cukup memiliki banyak daya diadili oleh penghakiman pasar kapital dan trend budaya massa yang berjalan sangat cepat di dunia permukaan. Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang meneguhkan “perang” dan melahirkan proyek-proyek nuklir negara-negara adikuasa sebagai teror pemusnahan massal, puisi tampak bagai kelopak mawar berwarna darah yang mekar di padang Kurusetra, terasing dan tak kita pahami mengapa.

Hingga kini kerja-kerja kepenyairan banyak dipermaklumkan (dilakoni) sebagai upaya bermabuk dan berkelana di lembah-lembah khayal semata—meski dengan tak tanggung-tanggung terkadang membawa pula embanan bombastis seperti pesan-pesan pembebasan, mesianistik, bahkan kenabi-nabian. Kita akan banyak menemukan tulisan tentangnya yang sebenarnya lebih mirip sebagai upaya apologis di tengah-tengah dunia yang menyibukkan diri.

Kita patut bertanya di tengah-tengah perkembangan peradaban; filsafat, ilmu pengetahuan serta teknologi, dan perkembangan sistem sosial dewasa ini apakah kita hakikatnya tengah tersesat dalam belantara akal-pikiran yang tanpa ujung? Sebuah kompleksitas yang selalu menyempal dari keutuhan? Puisi tampak suatu pola bocornya narasi tunggal yang ingin kukuh? Apakah penyair dengan demikian adalah agen dari pengkhianatan-pengkhianatan akan ikatan dan harmoni yang mandeg dan stabil? Puisi dalam segala kesepeleannya tampaknya yang paling handal membangun alasan-alasan menyelamatkan diri.

Islam (lewat surat as-Syu’ara) hendak mengembalikan kampanye yang berlebihan dan paradoksal tentang puisi dan kepenyairan pada takaran yang lebih egaliterian dan emansipatif. Penyair diletakkan kembali sebagaimana manusia (individu), tak kurang dan tak lebih.

Di mana ke-maharaja-lela-an kata-kata diletakkan sebagai bagian dari rentetan kerja iman, amal shalih (tindakan-sosial) dan keberpihakan terhadap kemanusiaan yang terzalimi. Islam tidak melihat penyair sebagai personifikasi yang sedih nan terkutuk maupun satu tangga lebih tinggi dari hal lainnya. Karena “kemanusiaan” dan segala tetek bengeknya ini secara otomatis merupakan hal-hal yang fitrah dan khas dunia kita—dan penyair merasuki marabahayanya dengan segenap diri untuk menemukan “mengapa”.

Dengan ini Quran menerangkan kepenyairan mulai dari dimensi individu (iman dalam arti yang luas) sekaligus dimensi sosial (amal shaleh) serta kewajiban melakukan pembelaan ketika keduanya (dimensi individu dan sosial) dikerdilkan. Dalam diskursus kontemporer tema ini terus dibicarakan dengan kerumitan bertumpuk-tumpuk buku dan meriahnya seminar-seminar dengan bahasa yang lebih seksis. Teks Quran—sejak berabad yang lalu—mengembalikan kedudukan kepenyairan kembali pada kodratnya yang humanistik untuk mengambil komitmen terhadapnya.

Patut kiranya jika berurusan dengan puisi menuntut tanggung jawab serta kualitas dari kerja kreatif seorang penyair. Bukan igau dan kutukan!

 Yogyakarta, 2014


sumber: jogjareview

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author