Tuhan barangkali tak pernah berniat untuk menciptakan seorang
penyair. Meski tentu saja Ia menciptakan kata, yang dengannya manusia
(Adam) diajari tentang nama-nama (pengetahuan). Di dalam Quran ditera
bahwa penyair selalu diikuti oleh orang-orang yang dungu. Penyair gemar
berkeliaran dan tersesat di lembah-lembah (khayal) dan mengatakan apa
yang tidak mereka kerjakan. Kenyataannya sejak zaman bahuela kita telah dikerumuni oleh
cerdik-pandai berkata-kata (penyair), keberadaannya hampir selalu
sebagai personifikasi yang jadah dan menyempal. Meski kemudian Quran
memberikan kriteria pengecualian bagi penyair-penyair yang beriman,
beramal salih, dan melakukan pembelaan ketika dizalimi.
Sepintas kita bisa memahami bahwa betapa dogmatiknya Quran
mempersonifikasikan tentang kepenyairan. Apakah Muhammad Saw sebagai
manusia yang tumbuh di tengah-tengah kaum jahili tidaklah jauh dari
kondisi serta konsepsi Plato ketika memandang kedudukan penyair di
tengah-tengah republiknya? Bahwa penyair (dan seniman secara umum)
merupakan penghambat dari jalinan sosio-kultur dan politik suatu negara!
Tentu pandangan di atas kuranglah tepat. Karena pada kenyataannya,
sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa hadist, Muhammad Saw justru
memberikan banyak simpati serta penghargaan terhadap syair maupun
penyairnya. Sebagaimana banyak kita temukan dalam kitab-kitab agama
besar di dunia yang ditulis dengan bahasa sastrawi, kita juga merasakan
bahwa personifikasi penyair sebagaimana tertera dalam Al-Qur’an surat
as-Syuara (para penyair) sangatlah terikat dengan nilai-nilai
moral-etik. Kita tampaknya tak bisa gegabah dalam memberi tafsir
bagaimana simbolisme di dalam kitab-kitab suci perihal kepenyairan.
Afrizal Malna dalam esainya “Pernyataan-Pernyataan Kepenyairan” yang
terkumpul dalam “Sesuatu Indonesia (Bentang, 2000)” mencoba merunut
personifikasi kepenyairan dengan menggali penampakan tersembunyi pada
puisi penyair-penyair dalam khazanah perpuisian kita. Mulai dari Ajip
Rosidi, Heru Emka, Acep Zamzam Noor, Goenawan Mohamad, Saini K.M,
Subagio Sastrowardoyo, Widji Thukul dan nama-nama yang lain. Beberapa
karya dan nama yang disitirnya telah memberikan gambaran-gambaran
personifikasi kepenyairan yang bagi Afrizal justru paradoks satu sama
lain bahkan dalam arkeologi tubuhnya sendiri.
Paradoks-paradoks komunikasional yang direntangkan Afrizal di dalam
esainya ini menuntut suatu tindakan bahwa penyair pada hakikatnya tak
bisa dibiarkan sendiri. Hal ini mesti dijembatani dalam rangka
menghindari pengulangan jurang yang terlampau dalam antara penyair,
pembaca dan realitas pola-pola komunikasi masyarakatnya di tengah
rekayasa-rekayasa tunggal yang kehilangan dinamikanya. Afrizal sampai
pada pernyataan bahwa dunia kepenyairan tidak cukup representatif bila
semata diperlakukan sebagai realitas sosiologis sebagaimana juga jika
hanya dilihat sebagai realitas kreatif. Afrisal dengan kata lain seperti
berupaya menggelar peta pada kepingan pulau yang sejatinya terbelah dan
compang-camping.
Di banyak pembahasan kita menemukan puisi serta kepenyairan
diletakkan sebagai bentuk krusial dari terciptanya kebudayaan ideal—jika
tak hendak kita katakan kepenyairan sebagai sesuatu yang adiluhung. Hal
itu tentu sah meski tak harus kita serap dan tindak sebagai sesuatu
yang heboh. Pemahaman tentang hal ini dari waktu ke waktu telah
mengalami banyak pergeseran yang tak selalu linear seiring
bangun-runtuhnya konstruksi peradaban dan kebudayaan manusia.
Dalam realitas sosio-kultural bangsa Indonesia sendiri—juga sebagai
bagian dari narasi global negara-negara modern—puisi dan kepenyairan
masihlah memelihara kerumitan-kerumitan definitif dalam meletakkan
posisinya. Kenyataan pahitnya; setinggi apapun konsepsi tentang hal ini
dilemparkan menjauhi orbit penciptaan kreatifnya, ia mendapati dirinya
tetaplah tak cukup memiliki banyak daya diadili oleh penghakiman pasar
kapital dan trend budaya massa yang berjalan sangat cepat di dunia
permukaan. Di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
meneguhkan “perang” dan melahirkan proyek-proyek nuklir negara-negara
adikuasa sebagai teror pemusnahan massal, puisi tampak bagai kelopak
mawar berwarna darah yang mekar di padang Kurusetra, terasing dan tak
kita pahami mengapa.
Hingga kini kerja-kerja kepenyairan banyak dipermaklumkan (dilakoni)
sebagai upaya bermabuk dan berkelana di lembah-lembah khayal
semata—meski dengan tak tanggung-tanggung terkadang membawa pula embanan
bombastis seperti pesan-pesan pembebasan, mesianistik, bahkan
kenabi-nabian. Kita akan banyak menemukan tulisan tentangnya yang
sebenarnya lebih mirip sebagai upaya apologis di tengah-tengah dunia
yang menyibukkan diri.
Kita patut bertanya di tengah-tengah perkembangan peradaban;
filsafat, ilmu pengetahuan serta teknologi, dan perkembangan sistem
sosial dewasa ini apakah kita hakikatnya tengah tersesat dalam belantara
akal-pikiran yang tanpa ujung? Sebuah kompleksitas yang selalu
menyempal dari keutuhan? Puisi tampak suatu pola bocornya narasi tunggal
yang ingin kukuh? Apakah penyair dengan demikian adalah agen dari
pengkhianatan-pengkhianatan akan ikatan dan harmoni yang mandeg dan
stabil? Puisi dalam segala kesepeleannya tampaknya yang paling handal
membangun alasan-alasan menyelamatkan diri.
Islam (lewat surat as-Syu’ara) hendak mengembalikan kampanye yang
berlebihan dan paradoksal tentang puisi dan kepenyairan pada takaran
yang lebih egaliterian dan emansipatif. Penyair diletakkan kembali
sebagaimana manusia (individu), tak kurang dan tak lebih.
Di mana ke-maharaja-lela-an kata-kata diletakkan sebagai bagian dari
rentetan kerja iman, amal shalih (tindakan-sosial) dan keberpihakan
terhadap kemanusiaan yang terzalimi. Islam tidak melihat penyair sebagai
personifikasi yang sedih nan terkutuk maupun satu tangga lebih tinggi
dari hal lainnya. Karena “kemanusiaan” dan segala tetek bengeknya ini
secara otomatis merupakan hal-hal yang fitrah dan khas dunia kita—dan
penyair merasuki marabahayanya dengan segenap diri untuk menemukan
“mengapa”.
Dengan ini Quran menerangkan kepenyairan mulai dari dimensi individu
(iman dalam arti yang luas) sekaligus dimensi sosial (amal shaleh) serta
kewajiban melakukan pembelaan ketika keduanya (dimensi individu dan
sosial) dikerdilkan. Dalam diskursus kontemporer tema ini terus
dibicarakan dengan kerumitan bertumpuk-tumpuk buku dan meriahnya
seminar-seminar dengan bahasa yang lebih seksis. Teks Quran—sejak
berabad yang lalu—mengembalikan kedudukan kepenyairan kembali pada
kodratnya yang humanistik untuk mengambil komitmen terhadapnya.
Patut kiranya jika berurusan dengan puisi menuntut tanggung jawab
serta kualitas dari kerja kreatif seorang penyair. Bukan igau dan
kutukan!
Yogyakarta, 2014
sumber: jogjareview
0 komentar:
Posting Komentar