"TUHAN MEMBUSUK" ATAWA MENTAHNYA DIALOG


~Ahmad Kekal Hamdani
 
Ada yang menarik sekaligus menggelikan akhir-akhir ini jika kita mengikuti perdebatan atau polemik perihal “Tuhan Membusuk” di sosial media cetak maupun online. Polemik yang bermula dari pencantuman tema “Tuhan Membusuk” oleh panitia Oscaar (Orientasi Cinta Akademik dan Almamater) UIN Sunan Ampel Surabaya ini menimbulkan respon kelompok organisasi dan instansi agama tertentu; seperti upaya represi terhadap pihak kampus yang berujung pada pembekuan Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel oleh pihak rektorat.

Siapa menyana, tema nyentrik yang bagi pembaca umum terkesan kenes dan genit ini akhirnya menyita cukup banyak halaman media cetak dan menjadi gunjingan di sosial media, utamanya di lingkaran mereka yang selama ini bergelut dengan wacana teologi keislaman. Berbagai respon menjadi penting untuk disimak dan ditimbang, meski banyak di antaranya hanyalah kegenitan yang tak punya refren. Anasir-anasir tentang hal ini, sebagaimana sering terjadi di Indonesia dalam konteks sosial-politik dan budaya, merupakan sebuah tema yang seksis, sensitif dan nyentil. Sangat mengherankan justru di sebuah negara yang memiliki sejarah panjang pluralitas-agama diskursus teologis selalu menjadi perdebatan yang sensitif-utamanya di kalangan mayoritas muslim.
    
Lantas, apakah yang signifikan dan tak dari “Tuhan Membusuk” sebagai suatu idiom maupun slogan diskursus kita? Tema nyentrik—jika tidak hendak kita katakan gegabah—yang diperpanjang dengan anak kalimat “Rekonstruksi Fundamentalisme Menuju Islam Kosmopolitan” ini sebenarnya bukan hal baru. Secara keilmuan kita bisa merunutnya hingga ke zaman awal berkembangnya Islam. Bahkan kita bisa menemukannya dalam sejarah tradisi agama-agama lain utamanya Protestan di masa Revolusi Gereja.
 
Tema ini mesti diakui tidak memiliki konsistensi yang ajeg dalam logika bahasanya sendiri. “Tuhan Membusuk” lebih bersifat metaforis dan sloganistis. Lebih bersifat konfrontasi daripada kosmopolis seperti yang ingin ditujunya. Sementara respon pendukung yang mencuat di permukaan lebih pada apologia dan pembenaran-pembenaran. Sebagian lain menyayangkan dengan berbicara hal-hal etis yang secara tak langsung mendiskriminasi—jika tak dikata intimidatif—terhadap ide-ide potensial dari kalangan mahasiswa. Alih-alih memberikan ruang dan kesempatan agar wacana ini menjadi suatu diskusi yang kostruktif pihak UIN Sunan Ampel justru membungkam anak-anaknya sendiri di depan publik dengan surat pembekuan.
 
Ini adalah tragedi anti-klimaks dari benih-benih pemikiran keislaman yang laten terjadi di negera kita. Sikap “sembunyi tangan” dari pihak kampus tersebut tentu hal termudah untuk menghentikan respon dan anggapan negatif masyarakat. Tapi yang sebenarnya lebih diinginkan oleh masyarakat yang kini lebih melek aksara adalah sebuah pertanggung jawaban akademik daripada pengejewantahan kuasa-birokratis. Sikap “keder” yang ditunjukkan pihak kampus UIN Sunan Ampel atas respon organisasi dan instansi tertentu membuat empati saya terenyuh dan mampu memutar pandangan saya terhadap panitia Oscaar sebagai 'pendulang gagasan' menjadi sekadar 'korban' dari narasi kuasa birokratis kampus UIN secara umum—di mana kasus semacam ini kerap terjadi.
 
Namun apa yang terjadi jika kita memahami fenomena “Tuhan Membusuk” ini bukan sebagai kegenitan atawa kenyentrikan, namun lebih kepada “kepolosan”? Asumsi saya terkait dengan proses bungkamnya Senat Mahasiswa UIN Sunan Ampel pasca keputusan pembekuan oleh Rektorat diberlakukan. Suatu bentuk kejujuran yang ringkih dari kepentingan-kepentingan barter kuasa yang terjadi dalam realitas sosial kita atas diskursus dan legitimasi keislaman. Hingga hal mendasar dan urgen dari peristiwa ini adalah bukan hanya 'hak intelektual' seperti disuarakan Masduri, tetapi juga praktikkuasa-pengetahuan yang pincang.
 
Itu sebabnya pembelaan Ahmad Sahidah di dalam tulisannya “Tabayyun Akhir Polemik Tuhan Membusuk” atas keputusan 'Pembekuan Sementara' yang dimuat koran Jawa Pos sebelumnya, merupakan suatu dukungan yang berat sebelah. Di sisi lain ia melihat bahwa bentuk tuntutan dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah Garis Lurus dan Front Pembela Islam (FPI) sebagai suatu tindakan yang tidak tepat. Hal ini tentu  paradoks dan menciptakan kesan bahwa polemik ini tak berkait secara vertikal dengan komitmen serta tanggung jawab Rektorat UIN Sunan Ampel—selain mendudukkan antara Senat Mahasiswa vis a vis publik yang kontra secara telak.
 
Perkembangan terakhir terdengar bahwa Senat Mahasiswa UIN Sunan Ampel menginisiasi adanya forum Tabayyun dengan pihak kampus. Jika pun forum ini tergelar setidaknya kedua belah pihak dapat berdialog dengan bijak tanpa ada upaya-upaya lepas tangan dan tanggung jawab atas polemik yang telah terlontar. Sebab “Tuhan Membusuk” dalam arti kasus ini adalah hal yang kita pahami bersama sebagai sesuatu yang tidak final. Tabayyun adalah forum dialog yang seimbang, berorientasi terhadap penghargaan akan karya intelektual bagaimana pun mentahnya, dan bukan klaim penghakiman atas kebenaran suatu inisiatif pengetahuan.  
 
Sebuah represi langsung atas inisiatif diskusi pengetahuan di kalangan mahasiswa, terlebih tema tersebut terlanjur menjadi konsumsi publik—menunjukkan kurangnya pendampingan yang intens dari pengajar terhadap mahasiswa di lingkungan kampus. Perkembangan terakhir bahkan menunjukkan penyempitan dalam proses akademik di lingkungan kampus semakin masif terjadi. Setidaknya ini yang dirasakan saya sebagai mantan—bukan alumni—Mahasiswa Teologi dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga yang kini beralih menjadi jurusan Filsafat Agama. Kampus dalam hal ini adalah sebuah pabrik boneka yang disubsidi negara dari keringat rakyat. []

Yogyakarta, 2014
   

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author