~Ahmad Kekal Hamdani
Mustikah bagi kita puisi yang mampu mengubah wajah dunia? Patutkah
embanan yang tidak sederhana ini kita letakkan sekonyong-konyong pada
punggung puisi dan kesusastraan kita? Atau sebagaimana Katrin Bandel
dalam karyanya “Sastra Nasionalisme Pascakolonialisme (Pustaka
Hariara,2013)”, kita juga musti menyayangkan betapa sastra dan kritik
sastra begitu minimnya berbicara diskursus sastra sebagai faktor penentu
dalam upaya-upaya pembebasan negara-negara pasca-kolonial? Atau dengan
sempit kita amini ungkapan Afrizal Malna dalam “Sesuatu Indonesia” bahwa
pembaca tidak pernah memesan Sastra Indonesia? Atau seperti ucapan
tokoh Joker dalam film The Dark Knight; Why so serious?
Butuhkah Sastra Indonesia seorang pahlawan atau setidaknya pentingkah
bagi pembaca untuk mendapati sastra sebagai partisipan yang loyal
terhadap perubahan sosial politik dan budaya pembacanya? Dan seperti
digelisahkan banyak kalangan, tidak mustinya bagi sastra untuk tunduk
dan lumer terhadap narasi global dan upaya liberalisasi kapitalilstik
abad kini? Pentingkah untuk percaya bahwa dalam sebuah pesta kelenaan
dari globalisasi kapitalistik--di mana negara tidak hanya menghambat
tetapi juga merupakan bentuk penghalang dari kepentingan pasar yang
terus menerus mentambunkan diri—revolusi sosial diselamatkan dari
upacara bunuh diri massal?
Pertanyaan ambivalen yang sebenarnya merupakan impuls-impuls apatisme
di atas tentu dapat kita perpanjang deretannya. Kita sangat mampu untuk
meragukan hal-hal yang tampak bagi khalayak sebagai diskursus-diskursus
yang bombastis tersebut. Elitisisme kultur sastra di atas merupakan
sekian faktor yang bahkan oleh penikmat sastra itu sendiri jarang
dipertanyakan. Pertanyaan itu barangkali hanya bisa diungkapkan oleh superhero kesusastraan yang pelahan mendapati dirinya kelelahan dan dengan beberapa catatan tampak cacat, seorang nabi yang gagap.
Sekali lagi, masih relevankah kita menganggap upaya reproduksi karya
sastra sebagai usaha-usaha mesianistik dan revolusioner guna
mengejewantahkan kodrat dari kebebasan itu sendiri? Bukankah sekarang
saatnya bagi kita untuk benar-benar menganggap konsepsi-konsepsi agung
tentang sastra sufistik, sastra kontekstual, Realisme Sosial, dan
barangkali juga Sastra Pascakolonial yang kesemuanya memiliki embanan
moral-intelektual kita anggap sebagai sesuatu yang aus dan berbicara
tidak pada tempatnya? Ya, diskursus semacam itu tidak cocok lagi bagi
kita sebagai generasi yang tertidur!
Kita tiada butuh jeda untuk mengambil hal-hal fundamental dan ruwet di
atas sebagai daftar kebutuhan masyarakat kita. Sastra adalah tentang
bagaimana menulis dengan bebas, bahkan meski tanpa berpikir hal-hal yang
menjemukan dan kaku; tentang negara, kesenjangan sosial, tentang
sublimasi agama dalam kepentingan-kepentingan politik, atau tentang
dominasi-dominasi yang timpang dari praktek represi kelompok atas nama
ke-Indonesia-an.
Bukankah kita tidak hendak terbangun dari mimpi indah abad hyper-modern
sebagai dongeng-dongeng fantasi yang melena? Kita—dengan cara
tertentu—sangat mampu menikmati posisi subordinat dan objek eksploitasi
dengan nyaman dan tanpa perasaan terganggu. Studi Pascakolonialitas yang
disebar justru mampu kita jadikan mesin waktu meromantisasi kelampauan
tanpa perasaan bersalah. Kita tidak butuh terbangun, kita hanya butuh
tertidur. Itu saja. Barangkali sebagai ekspresi kebebasan mutlak itu
sendiri! Ilmu pengetahuan yang kita bangun di Universitas cukuplah untuk
bekal meneguhkan kebutuhan-kebutuhan eksistensial dan individualitas
semata, toh jika kita diajari tentang Pancasila, Politik dan Kebudayaan
itu agar kita bisa menjadi pedagang eceran dan sedikit bekal untuk
menulis satu dua puisi yang lolos ke festival-festival.
Kita tidak butuh semua itu, bukan? Tidak! Generasi mutakhir yang kita
miliki di dalam sastra adalah bak tanaman. Kita cuma butuh tumbuh. Tidak
kurang. Tidak lebih. Kita tidak perlu terlampau gelisah lagi soal
produktifitas sastra, tak perlu. Setiap akhir pekan ratusan karya sastra
dipublikasikan seperti tumbuhan di musim penghujan. Karena sejatinya
jika kita adalah akar rambat, kita adalah akar yang menjalar di pot-pot
dari halaman belakang Indonesia. Tidak kurang. Tidak lebih. Kita telah
memiliki banyak media cetak dan online yang kapan saja siap menumbuhkan kita bak tanaman hias.
Sastra dengan ketinggian kedudukannya tiadalah perlu menyapa kaki dan
tangan para pejalan dan gelandangan, karena itu tentu tidak puitis.
Tulis saja tentang kereta. Tentang nama-nama keterasingan dan kesunyian.
Tulis saja tentang bunga mekar dan perjalanan pariwisata dan
pertemuan-pertemuan dengan sejawat sesama penulis atau penyair. Sungguh,
itu sah! Tentang patah hati dan lara ditinggal yang dicinta. Tulislah
itu semua jika hal itu memerdekakan dan membuat kita merasa menjadi
manusia. Bicaralah tentang kebebasanmu yang tak ingin disentuh oleh
mereka yang dekil dan tak berpendidikan. Kita manusia modern ini,
adalah yang menyibukkan diri meneriakkan kebebasan dan berbicara tentang
hak sembari giat membuat garis demarkasi individual yang tak terusik.
Buatlah ruangan khusus, semacam kamar atau ruang kerja tempatmu
mempertahankan kebebasanmu. Bersembunyilah; dibalik kata-kata!
Yogyakarta, 2014
Yogyakarta, 2014
0 komentar:
Posting Komentar