Oleh: Subaidi Pratama.
Dapatkan buku sehimpun puisi ini di [Klik] |
Pada zaman kerajaan Kediri dan Majapahit, seorang penyair biasa berkelana
ke pantai, lereng-lereng gunung untuk berjumpa dengan alam dan mencoba
menangkap getaran keindahannya. Mereka merekam yang dilihat, didengar dan yang
dirasakan melalui realitas. Kemudian disusun kembali ke dalam kata-kata menjadi
sebuah puisi.
Proses demikian berbeda dengan proses yang dijalani Ahmad Kekal Hamdani
dalam mencipta puisi. Walau pun sama-sama memeras keringat dan darah,
barangkali Hamdani hanya butuh tidur dan minum kopi sekaligus merokok untuk
menulis puisi.
Terlepas dari persoalan energi kualitas, Aristoteles pernah mengatakan,
seniman dan sastrawan yang melakukan mimesis tidak semata-mata menjiplak
kenyataan, melainkan sebuah proses kreatif untuk menghasilkan kebaruan.
Dalam cuplikan sinopsis buku (Gembala Tidur, 2014) karya Ahmad Kekal
Hamdani. Dea Anugerah, penyair Pangkal Pinang mengatakan. “Puisi yang berangkat
dari hasil aktivitas yang sungguh-sungguh, perlu dibaca dan dibicarakan lebih
jauh”.
Di sini, sangat perlu saya hadirkan penggalan puisi Ahmad Kekal Hamdani
dalam buku yang saya sebut di atas, agar pembaca bisa menguji kedalaman gagasan
puisinya secara langsung.//Api mataku,
kobarlah!/jangan beri padam kata-kata/karena keasingan yang kita cintai/adalah
buku-buku bagi darah dan kepalan/menyusun tulang-belulangku/ pada puncak
kebangkitan//, (Seseorang Dari Timur).
Dilihat dari penggalan puisi tersebut, pernyataan penyairnya merupakan
kecintaan yang cukup besar dalam mengembala kata-kata. Kata-kata baginya adalah
bagian dari organ. Dia hadir di tengah hiruk-pikuk dalam sepi dan
kesendiriannya, “menyusun tulang-belulang”.
Dalam pengantar bukunya Ahmad Kekal Hamdani menulis, puisi dalam hal ini
tidak hanya dilahirkan untuk memberi permakluman terhadap ironi dan kegetiran
kemanusiaan kita. Dia selalu lahir dan baru, meskipun dalam waktu yang relatif
tak menentu. Dia tetap tidak akan serentak tua dan ringkih. Karena puisi hadir
ketika ingin hadir, kadang dengan cara yang tidak dengan dipanggil atau sekedar
berpikir dan bergalau-galau dengan suatu keadaan.
Penyair berdarah Madura tersebut, tidak harus berlari ke pantai atau ke
gunung untuk menghasilkan sebuah puisi. Dia tahu cara mengatasi ruang dan
waktu. Di mana harus tidur, berpikir, menulis dan sibuk dengan aktivitas lain.
Lahirnya buku puisi “Gembala Tidur” bukti sebuah upaya Ahmad Kekal Hamdani yang
sungguh serius mengembarakan imajinasinya dalam perkawinan batinnya, yang dia
sebut “buku-buku bagi darah”.
Sebagai suatu “karya”, puisi memiliki ketergantungan pada kemampuan penyair
untuk merakit kata dengan simbol-simbol yang bermakna. Penyair membutuhkan
kontemplasi serta kepekaan jiwa dan perasaan untuk mewujudkan puisi yang
memiliki energi berkualitas. Di saat itulah kata-kata menjadi lahir abadi
ketika seorang penyair mampu menangkap pesan alam melalui perkawinan jiwanya.
Menurut penyair yang pernah nyantri di Ponpes. (TMI Al-Amin) Prenduan
Sumenep Madura ini, puisitidak akan pernah retas, jika tidak ada jerih payah
penyairnya untuk melahirkan. //tiap puisi
yang retas/ akan merenggut jerih/ dari keheningan/:rahim khayali//.
Dalam sambungan lariknya, Ahmad Kekal Hamdani cukup mabuk mengembarakan
jiwa dan pikirannya, tentu untuk meraih kata-kata yang ingin berhasil dipersunting
ke dalam puisinya dengan baik. //ia yang
mengembara/ menolak lelap dan lupa/ terbakar dalam matahari yang sama//, //seperti
detik-detik jatuh/ dan terbaring. buai gembala/ di lembah-lembah/ penuh
mabuk//, (Gembala tidur).
Sebagai penyair yang gemar mengembala kata-kata, saya tidak bermaksud
mempromosikan puisi-pusi Ahmad Kekal Hamdani secara berlebihan. Karena saya
yakin, semua karya penyair akan menyentuh jamannya masing-masing. Saya
teringat perkataan Sofyan RH Zaid, dalam sebuah perbincangan kecil di media
sosial, "Sekarang bukan
lagi zamannya Charil, Sutardji, D. Zawawi Imron, dan lain-lain.” penyair
tersebut sudah melewati masanya. Dari itu, lahirnya penulis-penulis baru dalam
khazanah kesusastraan sekarang, sangat perlu mendapatkan perhatian khusus
penyair senior guna melahirkan generasi penyair-penyair baru yang berkualitas.
Puisi-puisi Ahmad Kekal Hamdani yang saya hadirkan di sini, bagian kecil
dari sekian karya-karya penyair pemula yang terus lahir belakangan ini. Jelas
upaya ketekunan proses Ahmad Kekal Hamdani dalam menulis puisi tidak dijalani
dengan cara yang gampang. Seperti yang saya sebut di awal, meskipun hanya tidur
dan minum kopi, dia tidur dengan cara menolak lelap dan lupa. Sebuah
keinginannya menjadi pengembala kata-kata yang mahir dibangun dengan
“hantu-hantu” ingatan dan kencana cita-cita besar.
Simbol-simbol privat yang kerap didiksikan dalam larik puisi Ahmad Kekal Hamdani,
menjadi suatu letupan emosi yang cukup tinggi, memberi kedip bagi kualitas
kelahiran karya puisinya.Saya akan cuplik seutuhnya puisi karya Hamdani di
sini://Kata adalah gembala/ Yang
tertidur. Di lengan bukit/ Dan padang-padang terbuka/Saat segalanya/Jatuh dan
mengalir//, /Dalam darah sangkala/ Yang bisu. Memanggul gairah/ Ke puncak jemu/
Rapat pada segala/ Pada yang tak terperi//, Kata adalah gembala/ Yang tidur.
Ketika duka cita/ Menyalakannya/ Di langit mengerjap/ Jauh dari segala/ Yang
mampu/ Dicercap// (Kata).
Seorang Boulton mengungkapkan, karya cipta sastra (puisi), selain
menyajikan nilai-nilai keindahan aktual serta paparan peristiwa yang
imajinatif, sehingga mampu memberikan kepuasan batin, juga mengandung pandangan
kebenaran yang berhubungan dengan kontemplasi batin.
Pencapaian rohaniah dalam puisi-puisi Ahmad Kekal Hamdani menjadi kekaguman
khusus yang takkan pernah habis dikenang dan dirasakan pembaca. Khususnya dalam
benak saya. Karena ketika estetika, makna dan teknik bahasa berada dalam urutan
paling penting dalam sebuah karya.
Ahmad Kekal Hamdani tidak segan-segan melakukannya dengan segala jerih
payah hingga ke titik mabuk. Natural simbol yang dipilih, berhubungan dengan
keinginannya untuk mengabadikan kata-kata, “memanggul gairah”. Penyair yang
tinggal di Yogyakarta ini, melakukan sebuah upaya mencipta puisi yang sangat
berat “dalam darah sangkala”. Seakan hidup dan mati Ahmad Kekal Hamdani hanya
dia lakukan untuk puisi.
Betapapun karya sastra diapresiasi pembaca, Ahmad Kekal Hamdani masih belum
cukup untuk bergembira. Sekalipun karya-karyanya banyak dimuat di media, serta
memenangkan banyak event lomba. Apalagi dalam hal puisi. Karena puisi tidak
lain hanya karangan subjektif dan ditafsirkan pula dengan perspektif subjektif.
Penafsiran berbeda dalam karya puisi adalah persoalan selera. Dari itu,
Hamdani perlu terus mengasah gagasannya guna menghasilkan karya-karya puisi
yang “bernafas” lebih tajam dan berkualiatas. Hingga benar-benar mampu
memabukkan setiap jiwa pembaca. (Selamat Membaca Gembala Tidur).
Keterangan:
1. Penulis adalah penikmat sastra,
mahasiswa Universitas Tribhuwana Tunggadewi (UNITRI) Malang. 2. Sumber Tulisan [Klik].
0 komentar:
Posting Komentar