MENCARI "ADAM" DI BUMI SAJAK

: Ahmad Kekal Hamdani

Dalam Khazanah tiga agama dunia (baca: Yahudi, Kristen dan Islam) kisah tentang penciptaan manusia pertama “Adam” adalah hal yang tidak asing bagi kita. Dalam kepercayaan-kepercayaan Samawi -agama yang diturunkan dari langit lewat wahyu dengan perantara para nabi- Adam merupakan bapak pertama ummat manusia. Di sinilah runutan penciptaan homo sapiens -manusia dalam pengertian ilmu modern-dimulai dan dimaknai. Dari babakan sejarah ilmu pengetahuan manusia, Adam menjadi titik tolak dalam membaca asal-usul pencarian jati diri ummat manusia.

Dunia modern yang dengan hasrat percepatan dan ego-futuristiknya pada ghalibnya memang sedikit mengikis perbincangan perihal “Adam” ini. Meski ambisi saintifik yang akhirnya menciptakan pula degradasi maupun patologi sosial, kehancuran alam tersebab industrialisasi, perang dunia, dilipatnya ruang geografis dan budaya oleh arus informasi, membawa kerinduan kembali ummat manusia akan yang ushul. Dalam babakan baru postmodernitas, hal ini dipahami sebagai arah kembali ke masa lalu: the past is new. Dengan mencari kembali artefak yang tertimbun oleh jejak reruntuhan epistemik manusia di masa lalu lewat kediriaannya; manusia.

Tak sedikit seniman (sastrawan) terpanggil untuk memasuki pergulatan-pencarian wilayah yang tak kenal batas ini. Di dalam kumpulan puisinya “Keroncong Motinggo”, Subagio Sastrowardoyo tak sedikit menjadikan Adam sebagai usaha tafsirnya dalam memahami eksistensialitas manusia. Manusia dalam puisi-puisi Subagio Sastrowardoyo dikembalikan pada penciptaan pertama, seonggok tanah dan ruh azali. Manusia sebagai tungku api hasrat dan seonggok daging. Manusia pertama dengan cinta badaniah dan ia yang tereksodus dari alam sorgawi.

Adam meninggalkan kayangan/untuk melibatkan diri dengan bumi//Ia mau merasakan dahaga pasir ditimpa terik hari//Rindu angin di tengah gurun/dan lapar anjing di padang kering/semua hendak dialami//Darah di mulut Hawa yang dikerkahnya dalam cinta/karena ia mau melibatkan diri pada kehadiran manusia//Ia berjaga waktu lahir bayi pertama//Ia terlibat dalam derita. Bait berikut dari puisi Subagio tampaknya menabalkan hal di atas. Eksistensi kita semakin diutuhkan semenjak Adam memetik dosa pertama. Ketika kita bisa memberi mungkin bagi hidup di dunia adalah surga terindah. Di mana penderitaan dan kebahagiaan satu alir dari tangis pertaubatan ummat manusia.

Seakan merayakan pesta bersama dewa anggur dan kemabukan, Subagio seperti mengajak kita pada perjamuan Dionysus, sang Dewa dari mitologi Yunani yang kerap diasosiasikan dengan seks, cinta dan musik. Menggelar kembali dengan terbuka sisi dari jiwa manusia yang didorong oleh hasrat dan gairah yang menggebu-gebu. Mereguk anggur dari inti terdalam manusia, yakni “manusia” itu sendiri -dalam hakikatnya yang utuh. Manusia yang tidak hanya membangun pengertian bagi diri dan sejarahnya tetapi juga wadag yang mengalami.

Perempuan yang mengatupkan mata/Biarkan lampu kamar menyala/selama kita bercinta//Tubuh kita yang telanjang/harus kita hadapi dengan/mata nyalang//Dalam bercumbu/kita kembali seperti dulu/sebelum mengenal malu… (Keroncong Motinggo). Lewat metafora dan simbolisme tubuh, Subagio menebar anasir perihal ketelanjangan -kemerdekaan dan kejujuran- sebagai pintu pertama emansipatif dari kungkungan kepercayaan dan pengetahuan manusia yang parsial. Ia lanjutkan, misalnya: Apakah besok/Cinta hanya tahu hari ini/ikutilah denyut/Yang membawa kita berhanyut/dari kamar ke kamar/Setiap ruang samar adalah perlindungan/buat menghalalkan perkosaan/Di mana berhenti/O, biar dunia tenggelam/dalam darahnya sendiri.

Sementara dari lirisisme Sapardi Djoko Damono kita dapat memasuki sisi interior manusia yang menurut filsuf dan penyair Pakistan, Mohammad Iqbal, didasari oleh jiwa yang kesepian sebagai bagian dari eksistensi manusia. Misal dalam sajaknya yang berjudul “Jarak”: dan Adam turun di hutan-hutan/mengabur dalam dongengan/dan kita tiba-tiba di sini/tengadah ke langit; kosong sepi. Kita seperti dihadapkan kepada Aporia -jika tak hendak dikatakan kekecewaan- tentang betapa berjaraknya manusia dengan dirinya sendiri. Keasingan yang tak dapat dimengerti ketika pembayangan tentang masa depan mengalami kegagalan, sementara jalan pulang ke dalam sejarahnya direntang jarak kesunyian yang mengoyak.

Tanpa jauh berbeda, Subagio juga menulis tentang selubung gelap pengetahuan manusia akan hakikatnya sendiri. Dalam sajaknya yang berjudul “Adam”: Karena terkutuk/manusia pertama yang terdampar di pantai/matanya buta//Dinding mega memagari cakrawala/Dunianya adalah kekosongan tanpa makna//Waktu ditanya dari mana ia berasal/dan mengapa bintang berlayangan di langit/ia hanya menggeleng tak mengerti.

Dalam kepercayaan dan tafsir agama-agama samawi, rentang jarak antara yang sorgawi dan duniawi memang seperti langit dan bumi. Surga seakan hadir sebagai utopisme akan yang baka dan purna sedangkan dunia (bumi) sebagai yang kelak hancur dan nisbi. Ironisnya, barangkali, bagi kita yang hidup pada masa kini, surga yang kekal itu tetaplah tak tergapai dan bumi yang fana kini tetap menjadi pijakan ketika manusia-manusia lahir dan mati; menangis dan tertawa. Anak-anak manusia terus dilahirkan seakan tuhan tidak pernah menyerah terhadap manusia, sementara peperangan tetap meledak di punggung bumi yang sama.

Seperti dalam mazmur dan kasidah dari bibir Zarathustra filsuf dan sastrawan besar Nietzche bersabda tentang manusia dan waktunya. Zarathustra sebagai nabi yang kesepian dan tanpa ummat, yang datang dan melihat secara langsung masa depan. Lantas mendakwah tentang bagaimana manusia tidak akan mengalami secara nyata kekiniannya tanpa terikat dengan masa depannya. Masa depan yang berkabut dan dipenuhi bayang-bayang: Yang lebih tinggi daripada cinta kepada manusia adalah cinta kepada hal-hal dan bayang-bayang. Bayang-bayang ini, yang berlari di depanmu, wahai saudaraku, lebih indah daripada dirimu: mengapa tidak kamu berikan daging dan tulangmu kepadanya? (Bab 16).

Paradoks kemanusiaan dalam mengemban misi sucinya sebagai khalifah tampaknya dilahirkan lewat tarik menarik antara unsur negatif-positif dalam ruang dan waktu dengan segala variannya. Kita misalkan saja dalam tradisi protestan, Almasih sang penyelamat telah melakukan penebusan dosa seluruh hamba tuhan dengan penderitaan-penderitaan yang ditanggungnya. Barangkali demikian pula ketika Adam melakukan dosa pertama, Khuldi yang dipetiknya, adalah buah Tragedi di mana kemanusiaan mengutuhkan eksistensinya dengan “penderitaan” --satu-satunya hal yang tak dapat dijanjikan surga.[]

Sumber: Koran Merapi, Yogyakarta.

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author