Oleh:
Ahmad Kekal Hamdani
Oktober kini,
sebagaimana yang sudah-sudah, kita peringati bulan bahasa sebagai perhelatan dari ritus sejarah
bangsa Indonesia—untuk sekali lagi. Perayaan yang serupa upacara membangkitkan
kembali Bahasa Indonesia dari
kubur kebudayaan yang kian sesak. Serupa kuntilanak
cantik tanpa punggung yang bangkit dari kuburnya. Lewat proyek dan
ritual-ritual perayaan, Bahasa Indonesia serupa kuntilanak penasaran yang tak
tahu mesti kemana membuang dendam sejarahnya. Arwah penasaran yang tanggung
menagih nasibnya pada dunia dan realitasnya.
Ia (bahasa), tak
pelak mesti bertarung dengan jagad semiotik yang terus disuburkan oleh budaya
modern dan teknologi industri yang tanpa ampun mencipta kode-kode bahasa ke
dalam benda-benda mundan. Bergulat di antara kenisbian dan pengkhianatan.
Kefanaan yang sombong dari abad-abad kemanusiaan yang menuntut percepatan dan
keserempakan.
Persekongkolan
hyper-modernitas dengan rezim
kapitalis yang telah mencair di tubuh pemerintahan dan institusi-institusi
sosial yang kita miliki, telah menciptakan generasi bahasa tanpa punggung.
Bahasa Indonesia tanpa embanan dan masa lalu karena dijalankan tanpa tanggung
jawab dan tindakan. Di mana bahasa terus mencapai ufuknya yang tak pasti
sementara subjek berlari ke arah sebaliknya dengan kelenaan dan kemabukan dalam
jagad bahasa yang diciptakan iklan-iklan, janji-janji politik, kekerdilan
mental intelektual dan doktrin agama yang menyimpan bom waktu.
Sejak
mula Bahasa Indonesia lahir dari
semangat kolonialisme yang berkerabat dengan kapitalisme. Bahasa diperlukan
mula-mula sebagai “alat” atau instrument komunikasi kolonial dengan masyarakat
pribumi. Ia dianggap netral dan dianggap baik atau sebaliknya bergantung pada
subjek-subjek maupun pihak (agen) tertentu. Dalam kesenjangan kondisi
sosial-politik, budaya, dan agama, bahasa menjadi alat untuk melestarikan
kesenjangan sosial dan reproduksi-lanjut kapitalisme yang berakar dari Ego-Eropa
kala itu.
Sebagai alat,
harga bahasa ditentukan oleh nilai gunanya; teknis-pragmatis-ekonomis. Bahasa
menjadi alat kekuasaan kolonial untuk meraup raksasa keuntungan. Tidak
mengherankan jika dengan tujuan tersebut, dibentuklah kepanitiaan untuk
membentuk Bahasa Indonesia yang kini secara resmi menjadi bahasa kita oleh ahli
kolonial yang diangkat pemerintah Belanda.
Dipimpin oleh
van Ophuysen Bahasa Indonesia dibikin dan dipropagandakan oleh pemerintah kolonial
sebagai asli nusantara atau di kalangan masyarakat Riau, yang kini justru
dilanjutkan oleh cendekiawan post-kolonial tanpa sikap kritis. Tentu saja,
sebagaimana juga pernah diungkap Ariel Heryanto, para sinyo kolonial ini tidak
hanya ongkang-ongkang di kamar dan melamun saja, mereka melakukan studi
langsung ke daerah-daerah—termasuk Sumatera dan Riau—untuk kemudian membikin
garis antara bahasa resmi dan “melayu pasar”, sebagai bahasa yang hidup dalam
masyarakat namun dilabeli liar lewat
lembaga semacam Balai Pustaka—yang dibangun 1918.
Sementara pada
pra-kolonialisme dan pra-kapitalisme, bahasa tak kemudian dilecehkan sekadar
sebagai alat komunikasi. Tapi justru terlampau dipuja dan ditakuti, bahasa
tidak dibentangkan dalam realitas kemanusiaannya. Akibatnya bahasa mengalami
mistifikasi, menjadi mantra-mantra, menyimpan misteri kegaiban dengan penuh
selubung gelap. Bahasa menjadi magis dalam tulisan maupun kata-kata dalam
tekanan simbolisme foeodalistik. Bahasa nusantara mencapai sisi kemungkinan
potensinya yang kini hanya dapat dimengerti salah satunya dalam budaya
postmodernitas, dengan kembali pada kebajikan lama.
Setelah
runtuhnya Orde Lama yang romantik dan berapi-api, kuburan-kuburan bahasa ini
kemudian dilanjutkan kembali oleh Orde Baru. Dengan semangat pembangunan
diciptakannya algojo-algojo bahasa yang mengatur ketentraman Bahasa Indonesia
untuk senyap seperti pekuburan. Lewat kekuasaan dan arogansi militer, anak-anak
bahasa mesti berhadapan dengan laras senjata dan sepatu. Bahasa dan simbol sosial-budaya disulap menjadi kontras dan
hitam-putih. Kritisisme dihimpit dan pemberontakan dihancurkan. BPK (Bacaan
Pengacau Keamanan) menjadi alibi untuk membakar karya-karya sastra dan
intelektual.
Tentu kita
tidak mesti hanya terus mendramatisir perjalanan bahasa yang seperti arwah
kuntilanak berpunggung bolong ini. Kini gerbang Reformasi dibuka (1998), kita telah sampai pada sebuah era yang penuh dengan pesta
pora. Kebebasan diteriakkan di mana-mana, kegiatan politik bukan hal tabu bagi masyarakat banyak,
ketika arus informasi dan komunikasi merangsek dari banyak pintu dan jendela.
Bahasa terus
diproduksi oleh sistem sosial budaya yang terus bergeser. Kita sampai pada hiruk pikuk bahasa kekuasaan yang serupa
aktifitas diskon pasar murah. Kita menjadi mudah percaya terhadap apa dan
siapapun sekaligus pengingkar terhadap apa dan siapapun.
Dunia tidak lagi berputar dan linear dalam satu roda
ideologis akan tetapi dipenuhi keserempakan dan kesementaraan yang karikatural.
Kita mudah mencerna segala sesuatu untuk melenyapkannya sekilas saja.
Ketika penciptaan
bahasa berlumeran lewat sistem kode yang terus diproduksi oleh masyarakat di
tengah tangan besi teknologi dan jaring laba-laba kapitalisme global,
kondisi (basis)
material dan dialektika historis yang terus diproduksi oleh industrialisasi dan
life style ikut serta membangun kesadaran masyarakat kita. Produksi
simbol dan citra terus bergulir seperti bola salju yang membangun gunung es
baru –yang kelak siap mencair.
Kemajuan industri
kapitalisme dan budaya yang melipat diri untuk berpacu dengan waktu, melahirkan
citra dan perlambang. Bahasa lahir tanpa sempat memberi jeda pada detik yang
mungkin bagi problem klasik bangsa ini; korupsi, kemiskinan dan kesenjangan
ekonomi, janji politik yang cuma jadi asap yang tak seimbang dengan persaingan
juga hiruk-pikuknya, ilmu pengetahuan yang mudah ditawar karena meninggalkan
moralitas, sastra tanpa kontekstualitas yang kehilangan pembaca, serta bahasa
yang terus melubangi diri karena kehilangan tindakan nyata.
Oktober
kini dan seterusnya, barangkali penghargaan kita terhadap Bahasa Indonesia tak
lagi dengan banyak bicara dan membual. Barangkali bahasa mesti meresap ke dalam
sumsum tulang kita untuk menjelma tindakan nyata. Kita simpan segala
pembendaharaan, agar tak menjadi kebohongan baru—meminjam Afrizal Malna; yang
cuma menjadi pidato pada bantal-bantal berasap. Diam justru untuk
menghidupkan kembali apa yang selama ini terpendam di batin bahasa, yakni kerja
menurut hati nurani sejarah kita sendiri; sebagai pribadi maupun bangsa yang
tak ingin mati! []
Yogyakarta, 2012
Sumber: Jawa Pos, Ruang Putih, 28 Oktober 2012
0 komentar:
Posting Komentar