KESENIAN DARI RUANG GELAP


Proses pergerakan budaya di tiap gulir zaman selalu merupakan proses sentuhan transisional dari sisi gelap dan sisi terang sebuah drama sejarah sosial dan politik suatu bangsa. Seumpama sebuah pertunjukan teater, terdapat permainan cahaya untuk mengfokuskan wilayah pandang penonton untuk suatu adegan tertentu. Selain wilayah fokus itu, semua ruang menjadi gelap. Sebuah ruang yang tak terjamah dan tak berbentuk. Sebuah dimensi di mana aktifitas yang lain dari sebuah pertunjukan bermain dalam bisu dan tanpa citraan. Dari keluasan ruang teater inilah setiap pemain dan penonton mengambil perannya masing-masing.

Drama kolosal dari sejarah sosial-politik bangsa kita kini telah menemukan suatu fase di mana titik fokus mengalami goncangan. Lampu sorot dari kian warna berbaur mencipta acakan gradasi yang membuat penonton megap-megap mengejar alur adegan yang berpindah secara cepat dan tak terreka. Peruntuhan rezim yang bertahan selama 32 tahun oleh “Reformasi” telah menjadi euforia politik para elite bahkan sampai di tingkatan desa. Konsentrasi terhadap usaha meruntuhkan rezim otoriter rupa-rupanya tidak diikuti rencana pengelolaan dan penataan pascarezim. Liberalisasi terjadi tanpa kendali di mana ideologi-ideologi tiba-tiba menjadi murah dan diperjualbelikan se-enak udel. Partai-partai kembali bertumbuhan dan segala jenis kepentingan dengan banyak bendera berkibar di tengah-tengah kekacauan pergerakan sosial yang tanpa platform bersama.

Sementara yang tertinggal dalam kesenian (sastra) hanyalah luka dan kesunyian. Realitas ini mesti diamini sebagai efek dari ketidak-berdayaan masyarakat kita ketika para pemangku kekuasaan hanya memprioritaskan persoalan ekonomi dan politik semata –untuk dirinya sendiri. Kesenian seperti sebuah legenda harta karun yang terkesan berharga tapi jarang dapat ditemui dan dinikmati seluruh lapis dari masyarakat kita. Lubang-lubang yang ditinggalkan oleh orde baru pada akhirnya mesti ditutupi dengan jual beli aset yang nyaris merupakan usaha bunuh diri, menciptakan kondisi sosial-budaya yang rentan digiring ke dalam jurang kepentingan-kepentingan yang pendek.

Memang kita sedikit bisa bernafas lega dengan perkembangan teknologi informasi belakangan lewat media internet (facebook, blog, twitter, dll) yang menciptakan iklim demokratis kekreatifan. Namun sejauh apa teknologi digital semacam ini dapat dinikmati selain oleh kalangan ekonomi menengah? Ini belum tentang kualitas karya yang kini hanya bisa kita ukur secara kuantitas saja. Bila terdapat kemajuan secara karya itu hanya permukaan dan sebatas eksplorasi bentuk saja.

Sejak keruntuhan ekonomi 1997, agen-agen dari neoliberalisme merangsek ke dalam jantung negara dan melakukan restrukturisasi ekonomi dan bisnis lewat pintu Letter of Intent (LoI) yang umumnya menganut Wasingthon Consensus.  Indonesia akan dibantu secara ekonomi jika melakukan, di antaranya, stabilisasi ekonomi, liberalisasi, dan privatisasi; demikian salah satu bunyi konsensus tersebut. Hal terpenting dari ini semua adalah desakan kepada pemerintah Indonesia untuk restrukturisasi kebijakan perekonomian nasional, seperti penghapusan bea masuk, penghapusan subsidi, peningkatan penerimaan pajak, restrukturisasi perbankan dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan lainnya. Singkatnya, sepak terjang IMF, World Bank, dan CGI telah membalik peta penguasaan sumber vital yang menjadi hajat orang banyak (As’ad Said Ali, 2012).

Kita bisa saja beranggapan bahwa beberapa contoh kasus sosial-politik di atas tiada berhubungan dengan wilayah kesenian (sastra). Barangkali kita terlanjur terjebak dengan keagungan dan ide tentang universalitas. Kita memilih wilayah kesunyian dan mengeram diri. Sastra menjadi ekslusif dan hanya absah di tangan para kritikus dan kalangan “terdidik” perkotaan. Namun sejenak, apakah itu kesunyian? Bagaimanakah itu yang indah-indah? Apakah masyarakat sastra itu –apakah ia merupakan sebuah kelas sosial dari klasifikasi tertentu? Apakah dengan demikian sastra lantas menjadi berdaya?

Seumpama pemain teater, kita nampak hanya berkerumun di lampu sorot. Memilih jalan mainstreem dengan keterpengaruhan akan wacana dan teks-teks “resmi” tanpa kontekstualisasi terhadap masyarakat. Lalu kita merasa paling sunyi dan rahasia dengan jubah-jubah kesusastraan yang legitimasinya hanya bisa diperoleh lewat media-media tertentu dan segelintir kritikus –yang kerap memiliki profesi ganda sastrawan. Meski di sisi lain sastra tetap tidak laku dan kere pembaca. Lebih-lebih ketika teks tidak berdaya terhadap konteks, dan kesenian maupun kesusastraan hanya membuat orang “naik gunung” untuk beramai-ramai menjadi pertapa.  

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk memberikan ‘arti’ (dan bukan keindahan, meminjam istilah Arief Budiman) bagi gerak kesastraan kita. Untuk itu perlu kesadaran akan ruang gelap dalam area publik dan panggung lakon yang kita pentaskan. Ruang senyap ketika aktifitas dilakukan dalam gelap dari titik fokus pemain. Lalu kemauan untuk memasuki wilayah tak terjamah baik itu di tengah-tengah penonton, di belakang panggung, bahkan di luar gedung pertunjukan itu sendiri. Seniman dan Sastrawan lantas menyadari akan perangkat-perangkat sosial-kultural lalu tidak men-tabukan hal-hal politis.

Pada akhirnya memang persoalan pilihan. Setiap pribadi dari kita merdeka memilih untuk memerankan fungsinya masing-masing, bahkan untuk tidak menjadi apa dan siapa. Toh kita tahu sastra terus berkembang –utamanya pasca reformasi- tanpa banyak hal yang mengejutkan. Kita lalu bergerombol dalam lampu sorot dan meninggalkan sisi gelap dari juktaposisi narasi sejarah sosial-budaya kita sendiri. Kita lantas lupa pada adegan dan mabuk di bawah cahaya lampu. Sementara penonton memilih meninggalkan gedung dan segelintir hanya masturbasi dengan kelenaan-kelenaan kapitalistik dan hedonisme modernitas yang angkuh.

Tapi seperti apakah jalan kesunyian itu sebenarnya? Apakah ia berbentuk apatisme terhadap kondisi sosial dan memberi dispance pada segala sesuatu yang tampak hiruk pikuk. Barangkali jalan sunyi itu ketika kita memilih bergerak dalam ruang gelap tak bernama sembari menyadari putaran lampu sorot yang menentukan gerak maenstreem kesastraan kita. Ketika kadang kita justru meninggalkan ‘puisi’ untuk yang ‘puitis’ itu sendiri. []

Yogyakarta, 2012

Minggu Pagi, Minggu I , Agustus 2012

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author