ANAK DARI MASA LALU

Oleh: Ahmad Kekal Hamdani


kaum gelandangan yang mendengkur pulas seperti
huruf kanji kumal di emper-emper pertokoan cina
tak pernah terjamah tangan-tangan puisi kita
sebab tak mengandung nilai sastra
-Wiji Tukul
₪₪₪
Tentu saya tidak pernah benar-benar ingat, kapan bermula pertemuan saya dengan sebuah buku. Buku yang kemudian membawa saya entah di alam mana saya pernah hidup. Di atas lembaran-lembaran dengan simbol-simbol aneh itu; sejarah, peristiwa dan tragedi seperti telah menjadi dirinya sendiri. Siapa menyangka, bahwa saya merasa mengenal nenek moyang lewat sebuah buku? Nama-nama kota yang belum pernah saya singgahi, bagaimana orang-orang di dalamnya berinteraksi, ada banyak hal dalam buku, dan tidak mudah menceritakan semua dengan perasaan gembira atau miris-perih terhadap itu semua. Tentu kau boleh tersenyum kecut, pun tiba-tiba memelukku! Seperti kita pernah dibesarkan dari aksara dan paragraf yang sama, sebuah sepatu boat, palu-arit, kaligrafi bertuliskan Allah, dan sepuntung rokok yang padam nyalanya.
Namun, setelah beberapa tahun saja saya berdiam di Yogyakarta, dengan akses buku-buku dan informasi yang deras mendera. Tiba-tiba saya semacam mual intuitif, kepekaan saya tiba-tiba tergantikan oleh data-data dan angka-angka yang busuk. Mulanya, mungkin karena tidak terbiasa. Tapi mengapa saya selau merasa mengidap rasa haus dan kelaparan yang tak wajar, perut saya terus saja memuntahkan segalanya. Dan sialnya, di sinilah letak kelebihan –bila tak mau dikatakan kekurangan- dari sebuah kota besar dengan tingkat penduduk yang padat, begitu banyak dengan pabrik-pabrik yang terus saja mendaur ulang buku-buku, membakarnya kembali dalam diskusi dan forum-forum yang ganjil, yang memiliki pintu dan jendela. Buku-buku itu semacam membawa sebuah pesta besar yang tidak pernah selesai dari masa lalu. Yang riuh, dan tidak saya temukan ketenangan di dalamnya.
Bila bumi ini memiliki dua buah kutub, utara dan selatan. Maka sebuah buku juga memiliki sebuah kutub, yakni timur dan barat. Buku terkadang memang membuat saya tahu tentang masa lalu, namun demikian ia juga tidak membantu saya bekerja untuk masa depan. Ia (buku) adalah ruang isolasi yang mempunyai elastisitas tersendiri dalam membangun wacana dan kenangan-kenangan dalam bentuk teks dan bagan-bagan yang rumit. Saya jadi berpikir, mengapa di negeri ini dipenuhi dengan pabrik-pabrik yang kotor dan jorok, sebab setiap waktu kita hanya melahirkan sarjana-sarjana yang mengkonsumsi buku tetapi tidak dapat keluar dari teks, sembari terus saja megikuti jargon sarjana filsuf barat –Derrida- yang mengatakan segala sesuatu ada di dalam teks! Sungguh, ini pertama kali saya merasa menyesal memasuki studi filsafat dan hanya terperangkap dengan buku-buku. Saya pun, tiba-tiba ingin mengingkari diri saya sendiri, yakni sebagai penyair yang menganggap teks sebagai jagad raya, tempat segala-galanya hidup! Saya ingin menulis dengan melebamkan ‘daging’, dan sesekali mengucurkan ‘darah’. Daripada slogan Derrida yang mengatakan “tak ada apa-apa kecuali teks” saya lebih memilih kata “hanya ada satu kata, lawan!” milik Wiji Tukul.
Ketika modernisme meletus di barat, orang-orang latah berlari ke barat. Ketika Posmodernisme juga menyala di barat, orang-orang juga kembali latah ikut-ikutan ‘ancur-ancuran’. Ada juga sebagian yang tenggelam dalam kemegahan imperium raja-raja masa lalu, kejayaan-kejayaan Islam dan lain sebagainya. Siapakah yang paling berjasa dalam hal ini, adalah buku. Adalah masa lalu yang melompat ke masa kini secara sepotong-potong dan sporadis. Bila Guevara mengatakan tidak ada kata menunggu dalam ‘revolusi’, sebab realitas memang selalu berubah, sebelum kau selesai berucap masa kini, kekinian tiba-tiba telah menjadi begitu tua rautnya. Bila filsuf dekonstruksionis menyamakan realitas dengan sebuah teks, bagi saya realitas memiliki perbedaan yang tajam dengan teks. Sebuah metafor, sampai kapanpun hanyalah menjadi dirinya sendiri yang berbeda dengan realitas objeknya.
₪₪₪
Ada sebuah ruang pribadi yang tiba-tiba hendak menggelembung menjadi ruang sosial. Ada suara-suara dari masa lalu yang datang bertubi-tubi ke masa kini. Kekinian lantas menjadi absance karna dilapisi oleh melankolia sejarah dan utopia-utopia masa depan. Diri pribadi akan menjadi terbekap bila masa lalu dan masa depan menguasai kekiniannya, menjadi sebuah paradigma yang blong, dan luput dari kekinian. Semacam kampung halaman yang selalu mengikuti kemana pengembara pergi, kampung halaman yang dibikin dari masa lalu yang gemetar dan masa depan yang cemas. Itu sebabnya, sebagaimana manusia, harus mengatasi kenangannya. Manusia memang sebuah persimpangan, menjadi tempat telikung kesadaran-kesadaran alam yang hidup langgeng dari masa lampau ke masa depan yang tak ada. Menulis puisi adalah menjadi saat ini, di bumi ini.
Secara fitrah, dapatkah manusia lari dari kenangannya? Lari dari bayang-bayang yang dibiaskan cahaya di lekatnya? Manusia, hidup bersama kenangan bukan? Ia menjadi dirinya seperti apa yang ia kenang tentang dirinya! manusia membawa beban masa lalu dan mimpi masa depan yang bisa saja sangat sporadis dan tiba-tiba. Dengan itu, pertahanan manusia bukan persoalan bagaimana ia menerima ingatan, akan tetapi bagaimana ia mengatasi dan melampauinya. Manusia selain juga sebagai makhluk yang berpikir, yang bermain, yang bersaing dengan sesama, ia juga makluk yang mengingat dan melupa! Dalam hal ini, manusia terkadang hanyalah alat tampung kenangan-kenangan, sebuah lorong transmisi gelak tawa dan alir air mata.
Manusia Indonesia belum lepas dari politik segmentasi yang diciptakan oleh kolonialisme. Sebuah pembayangan yang menjurus pada pembentukan dan penetapan (fixity) tentang bagaimana barat menyuntikkan imajinasi itu ke dalam pikiran kita. Itu sebabnya, banyak dari karya sastra hanya adalah melankolia dari keperihan-keperihan itu, termasuk puisi-puisi saya yang justru saya sadari ketika ia menjadi antologi seperti sekarang ini “Rembulan di Taman Kabaret”. Apakah ini sebuah kesalahan? tentu saya tidak dapat melegitimasinya begitu saja. Ingatan-ingatan traumatik memang tidak bisa lenyap begitu saja, ia membutuhkan semacam trapi psikis akan sejarah ke-Indonesia-an yang lebih jujur. Saya merasa hidup di masa kini yang terus berlari dan tidak terpegang, sebuah konstelasi kejadian yang surup ke ke-terlampau-an.
Dan ketika senja berangkat, batin saya seperti merasai bahwa saya lahir dari generasi yang hilang. Masa kini, tidak kalah asingnya dari masa lalu yang saya temui di buku-buku, dalam catatan dan ceritera yang ditiupkan angin ke kisi-kisi ingatan. Merubah kehidupan, melampaui sejarah dan kenangan-kenangan tidak cukup dengan hanya menulis puisi, tetapi tenggelam di dalamnya, dalam hidup yang estetik dan tragik. Saya ingin menutup catatan ini dengan sebuah bait dari Pope’s Odissey yang juga dikutip oleh Ivanhoe dalam novel klasik ‘Sir Walter Scott’:
begitulah mereka bicara; dan ke kolong kubahnya yang hina
babi-babi kenyang itu pun pulang bersama petang.
ke kandang, dengan terpaksa, dengan enggan,
ditingkah pekik riuh rendah, pekik tak sedap
Yogyakarta, 2010

Catatan:
Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku "Rembulan di Taman Kabaret", awal 2010 di Universitas Trunojoyo, Bangkalan.

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author