Masa Depan “Kekinian” Kita


Esai Ahmad Kekal Hamdani
Membincangkan “pemuda” dalam realitas gerak sastra (puisi) kita kini, masih dikesankan sebagai bentuk pengkotakan dari sosio-kultur sastra kita. Antara “golongan tua” dan “golongan muda” yang memiliki sisi tegang tersendiri, unik, dan tidak jarang mencuatkan perdebatan-perdebatan panjang soal senioritas, hegemoni kaum tua, etika antar generasi, dan bahkan soal sentiment antar kelompok-sosial (komunitas) penyair antar daerah.
Hal yang demikian tentu memiliki akar tradisi yang cukup panjang. Pola “angkatan” yang pernah terbangun di masa-masa awal perpuisian modern Indonesia dalam intensitas tertentu juga memiliki andil memelihara garis demarkasi antarperiode dari kelahiran penyair-penyair muda pada tiap tahunnya. Meski yang demikian, mungkin masih hanya terpendam dalam batin “golongan tua” sebagai artefak sejarah perpuisian kita –yang dalam tumbuh kembangnya berada dalam pergolakan politik tiga generasi: orde lama, orde baru, dan mula reformasi.
Kini, di antara perkembangan sosial-budaya yang dihantui globalisasi, modernisasi, serta derasnya arus informasi dan komunikasi (multi)media. Arti kata “muda” barangkali telah kehilangan kharismanya. Demokratisasi media yang menemukan momennya dalam gelombang kapitalistik adalah penyumbang terbesar dalam penghancuran sekat “tua” dan “muda” dalam rekayasa-sosial sastra (puisi) kita. Sebut saja media seperti facebook, twitter, blog, arus produksi dan persaingan penerbit, serta begitu banyaknya festival-festival sastra digelar tiap tahunnya.
Dalam tahun 2011 saja, telah terlaksana misalnya; Pertemuan Penyair Nusantara (PPN V) di Palembang dan akan berlangsung Oktober ini Temu Sastrawan Indonesia (TSI IV) di Ternate serta Ubud Writer & Readers Festival (UWRF 2011) di Bali. Itu hanya segelintir dari begitu banyaknya gelaran sastra kita, mulai dari yang berskala lokal, nasional, bahkan internasional. Dari yang sekedar perayaan hingga usaha-usaha perumusan dan tindakan.
Beberapa kegiatan sastra yang tumbuh dengan semangat dari dan untuk “pemuda” di antaranya seperti; Pertama, Temu Penyair Muda Jawa Barat-Bali (TPMJBB) 2005, di Bandung. Kedua, Forum Penyair Muda 4 Kota pada 2-3 Februari 2007, di Taman Budaya Yogyakarta yang diikuti beberapa penyair muda dari Yogyakarta, Bandung, Bali dan Padang. Ketiga, Temu Penyair Lima Kota (TPLK), 27-29 April 2008, di Payakumbuh dengan ditambah beberapa penyair dari Lampung.
Tiga kegiatan temu penyair (sastrawan) di atas bukan tanpa pergolakan, beberapa persoalan mencuat seperti miskomunikasi, perbedaan sikap serta intoleransi dalam proses komunikasi juga terjadi. Ini tentu merupakan proses dialektika yang perlu diamini dalam proses mencari kesebangunan serta sikap bersama “kaum muda” dalam membawa nasib sastra (puisi) ke depan. Dan tiga kegiatan di atas hanyalah gambaran kecil dari banyaknya kegiatan sastra yang dipelopori kaum muda di daerah-daerah. Baik lewat intensitas berproses dalam internal komunitas maupun dialektika-komunikatif antar komunitas satu dengan yang lainnya.
Banyak dari problematika “kaum muda” dalam perbincangan sastra kita adalah semacam usaha guna menjebol sekat-sekat geografis dan melakukan reka-garis komunikasi budaya untuk menciptakan iklim yang lebih merdeka. Seperti misalnya penggugatan atas tradisi senioritas, melepas belenggu diskriminasi atas pelaku budaya di daerah-daerah, membaca ulang dan melakukan bentuk penyadaran bersama untuk bangkit dan mengatasi kekinian mereka, politisasi media dan hegemoni kelompok tertentu, serta perbincangan lainnya di seputar semangat muda yang progresif.
Dalam prosesnya, tentu kesilang-sengkarutan terjadi, bahkan sampai dalam tataran caci-maki. Hal demikian adalah lumrah dalam batasan tertentu, dan bila kita mau berpikir bijak, kegiatan dan semangat di atas mau tidak mau kita sadari memberikan banyak manfaat dalam memberi dan merekonstruksi iklim budaya kepenyairan kita selalu dalam posisi yang dinamis. Setidaknya, sekat-sekat itu telah menjadi lebih cair dan kita bisa lebih mempersiapkan diri menyikapi tantangan selanjutnya untuk kekinian kita. Dengan problematika baru, dengan strategi dan usaha-usaha yang baru.
Pertanyaan yang muncul kemudian, masih relevankah kegiatan-kegiatan seperti di atas bagi tumbuh-kembang sastra (puisi) Indonesia kini dan ke depan? Benarkah “kaum muda” masih ada dalam realitas sastra dan dunia kepenyairan kita? Bila “kaum muda” dalam sastra Indonesia benar-benar ada –atau setidaknya mesti Ada, sejauh apakah peranan itu mereka mainkan di tengah arus pragmatisme yang kian melebar? Yah, di saat sastra hanya merupakan laku romantisisme atas mitos-mitos “kepahlawan” dan “superioritas” kepenyairan. Dengan segala kausalitasnya yang menjanjikan “nama besar” dan benih-benih hegemonik atas masyarakat sastra. Ketika banyak pemuda bercita-cita menjadi penyair dan mengimpikan “peperangan” hanya untuk membuktikan dirinya bukan “anak kecil” dan patut pula dihargai secara eksistensial! Bila hanya demikian, tentu kita hanya memperkeruh lumpur hisap yang telah menelan habis cita-cita luhur kesastraan kita.
Bagi saya pribadi, peranan “kaum muda” adalah keniscayaan. Tanpa tendensi untuk mengkotakkan antara golongan tua dan muda, pengidentifikasian identitas serta pengafirmasian “kemudaan” memiliki fungsinya sebagai wilayah penentu untuk menarik garis fungsional antar generasi. Baik golongan tua maupun muda galibnya memiliki peranan masing-masing yang urgen dan saling bersinambung. Itu sebabnya, perbincangan keduanya tidak bisa lepas satu sama lain.
Memperbincangkan peranan “kaum muda” bukan berarti hanya memperdebatkan kekinian dan identitas pemuda itu sendiri, tetapi juga merupakan usaha menatap dan merekonstruksi arah masa depan. Konsepsi perihal “pemuda” pun adalah sesuatu yang cair, yang memiliki mungkin untuk direkonstruksi kembali lepas dari sekedar kategori umur dan periodisasi, akan tetapi juga dari spirit dan sikap mengatasi akan kekinian dan masa depannya! Semoga dalam dekat yang demikian bisa kita gagas kembali, tak hanya untuk menjalin silaturrahim dan guyub persaudaraan akan tetapi merumuskan kembali peranannya dari hanya sekedar memperdebatkan posisi dan “kebebasan” menyatakan diri, tetapi juga pilihan untuk hadir di tengah-tengah pergolakan sosialnya yang terus berubah.
Regenarasi akan terus berlanjut dengan segala problematikanya yang khas di tiap zamannya. Apa yang telah diusahakan dan dibangun oleh kaum muda terdahulu mesti dilanjutkan –meski dengan ekspresinya yang berbeda. Barangkali kita bisa memulai dengan sekedar bisik-bisik, mengingat hal-hal kecil di sekitar dan sedikit mengendorkan ketegangan. Bila usaha penghancuran-penghancuran belenggu itu telah dilakukan di silam waktu, kini kita bisa memulai mengisi “kebebasan” itu dengan rumusan dan konsepsi progresif kaum muda sendiri. Agar kita tidak menjadi terlampau cepat tumpul dan mandul! [.]
Yogyakarta, 2011

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author