SUBJEK YANG BERPALING DAN SASTRA TANPA PUNGGUNG



(Surat untuk Seorang Pribadi)*

hanya keseimbangan antara kenyataan dan lirisme-lah
yang memungkinkan kita untuk menjangkau sekaligus
emosi dan kejelasan. – Albert Camus, Mite Sisifus    

*
Ketika percakapan mula-mula rencana penerbitan bukumu –seingatku tiga tahun yang lalu. Mungkin memang sebuah kenyataan yang berbeda kini, karena tidak seperti tiga tahun yang lalu itu, aku kini cuma nuansa yang hampa memberi jeda bagi segala peristiwa untuk datang dan pergi di sekelilingku. Hari-hariku tak ada yang mengejutkan, menikmati waktu menguap dari sisi berandaku, bercakap bersama kawan-kawan hingga seharian, bermain bersama anjing-anjing dan kucing-kucingku, menyirami bunga dan sesekali saja menghadiri agenda-agenda kecil sastra di Yogyakarta.
            Dan ketika engkau mempercayakan buku puisi tunggalmu “Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat” untuk kubedah di kotamu–Semarang yang penuh persoalan itu bagiku. Sejujurnya, tak ada lagi yang bisa kupercakapkan tentang puisi kini. Membicarakan puisi justru ketika aku sedang tak mempunyai kepercayaan terhadapnya, bukan perkara gampang sepertinya. Kuragukan kini setiap titik keringat yang jatuh demi bait-bait puisi, kuragukan larik-larik yang memeram cemasku akan ada-tiadanya simpati terhadap kehidupan yang lebih puitik ini. Setidaknya, demikianlah kurasa segalanya memberi tempat.
Itu sebabnya barangkali aku tak dapat memenuhi harapanmu atau melakukan semestinya dikerjakan oleh seorang pembedah buku, tapi justru aku memilih menulis surat “pribadi kepada pribadi” ini untukmu. Mungkin karena aku merasakan lebih mudah untuk jujur kepada semua perihal bagaimana puisi dan kejutan-kejutannya mempertemukan seorang dengan seorang –atau mungkin memisahkannya. Aku bisa saja, dengan sedikit pemahaman perihal sastra (puisi) untuk kemudian mencari bahan dalam buku-buku, memilih sejumput teori-teori estetika, memberikan kutipan-kutipan, dan memperbanyak daftar pustaka untuk menulis perihal puisimu. Tapi entah mengapa, kurasa kau pun tak terlalu berharap aku akan melakukan pembacaan secara berlebihan semacam itu.    
Tak banyak yang dapat kuberikan, sahabatku. Bahkan ketika pada sebuah perjumpaan kita di Semarang, di sela kita menunggu bus yang akan mengantarkanku meninggalkan kota itu –menuju Yogyakarta. Perbincangan yang hangat, sambutan-sambutan kecilmu yang tak pernah tamat –salam saya untuk gadis manis itu. Matanya yang menggemaskan itu bung, aku jadi teringat sajak-sajak yang keras kepala menimang bunga dan senjata. Aku juga suka sepatu coklatnya, mengingatkanku pada perjalanan yang tak pernah menangis.
Kukenangkan bagaimana orang-orang menyelamatkan setia. Mengucurkan keringat dari dahi yang digambari lorong-lorong panjang, kota-kota tanpa punggung dan masa lalu. Sebuah kota yang tidak ingin bersandar, kota yang tidak pernah pulang. Kota adalah surga untuk mengasingkan diri, bukan? Membenamkan segala jaring-jaring melankolia, menjadi bagian dari mesin dan gerbong-gerbong dari muluknya cita-cita. Karena kita terkadang tidak perlu memiliki banyak alasan untuk menulis puisi.
            Aku tidak pernah tahu, kapan dari sebuah generasi sastra (puisi) kita menempati sebuah posisinya yang ideal dalam kurun dan konteks zamannya.  Puisi macam bagaimana pula yang mesti ditulis oleh seorang penyair untuk merespon suatu keadaan tertentu. Karena terkadang puisi lahir bagai sebuah nyanyian yang nada-nadanya hanya bisa dipetik dengan kejadian dan peristiwa tertentu yang hadir ke sisi kita, yang khas dan hanya miliknya sendiri. Kita tak bisa benar-benar bersiap untuk melahirkannya, bukan? Tapi tentu saja ini bukan menutup kemungkinan seseorang mengambil jalan kepenyairan tanpa suatu maksud.
            Barangkali memang butuh lebih dari sekedar keberanian untuk menghadapi dan memberi jawab terhadap pertanyaan-pertanyaan konyol. Pertanyaan seperti mengapa seseorang mesti menulis dan membaca puisi? Mengapa kita mesti mempercayai puisi dalam hal-hal apa yang bisa diberikannya bagi kebudayaan kita? Mengapa kita penyair? Bahkan mengapa kita terus saja berkeras kepala mencipta puisi justru di zaman yang hampir tak pernah berpihak terhadapnya? Kita bisa menjawab mulai dari yang paling asal bahkan sampai yang mengkerutkan kening. Terkadang, meski seseorang atau suatu masyarakat mempunyai jawaban masing-masing tapi sedikit dari kita yang menjadikannya hayat -puisi sebagai laku dan raga.

**
Dalam sebuah kesempatan menonton pertunjukan teater di Yogyakarta, menyaksikan bagaimana gedung teater yang gelap dengan beberapa lampu fokus yang menyaling-nyilang di atas panggung, entah mengapa aku jadi teringat perihal kesenian kita. Kesenian yang berada di tengah-tengah proses pergerakan budaya yang merupakan proses sentuhan transisional dari sisi gelap dan sisi terang sebuah drama sejarah sosial dan politik bangsa kita yang tanpa punggung ini.
Bila dipermisalkan sebuah pertunjukan teater, terdapat permainan cahaya untuk mengfokuskan wilayah pandang penonton untuk suatu adegan tertentu. Selain wilayah fokus itu, semua ruang menjadi gelap. Sebuah ruang yang tak terjamah dan tak berbentuk. Sebuah dimensi di mana aktifitas yang lain dari sebuah pertunjukan bermain dalam bisu dan tanpa citraan. Dari keluasan ruang teater inilah setiap pemain dan penonton mengambil perannya masing-masing.
Seumpama pemain teater, kita nampak hanya berkerumun di lampu sorot. Memilih jalan mainstreem dengan keterpengaruhan akan wacana dan teks-teks “resmi” tanpa kontekstualisasi terhadap masyarakat. Lalu kita merasa paling sunyi dan rahasia dengan jubah-jubah kesusastraan yang legitimasinya hanya bisa diperoleh lewat media-media tertentu dan segelintir kritikus –yang kerap memiliki profesi ganda sastrawan. Meski di sisi lain sastra tetap tidak laku dan kere pembaca. Lebih-lebih ketika teks tidak berdaya terhadap konteks, dan kesenian maupun kesusastraan hanya membuat orang “naik gunung” untuk beramai-ramai menjadi pertapa.      
Drama kolosal dari sejarah sosial-politik bangsa kita kini telah menemukan suatu fase di mana titik fokus mengalami goncangan. Lampu sorot dari kian warna berbaur mencipta acakan gradasi yang membuat penonton megap-megap mengejar alur adegan yang berpindah secara cepat dan tak terreka. Peruntuhan rezim yang bertahan selama 32 tahun oleh “Reformasi” telah menjadi euforia politik para elite bahkan sampai di tingkatan desa. Konsentrasi terhadap usaha meruntuhkan rezim otoriter rupa-rupanya tidak diikuti rencana pengelolaan dan penataan pascarezim. Liberalisasi terjadi tanpa kendali di mana ideologi-ideologi tiba-tiba menjadi murah dan diperjualbelikan se-enak udel.
Sementara yang tertinggal dalam kesenian (sastra) hanyalah luka dan kesunyian. Ketika sastra dan kesenian tidak punya daya selain bicara. Realitas ini mesti diamini sebagai efek dari ketidak-berdayaan masyarakat kita ketika para pemangku kekuasaan hanya  memprioritaskan persoalan ekonomi dan politik semata –untuk dirinya sendiri. Kesenian seperti sebuah legenda harta karun yang terkesan berharga tapi jarang dapat ditemui dan dinikmati seluruh lapis dari masyarakat kita. Lubang-lubang yang ditinggalkan oleh orde baru pada akhirnya mesti ditutupi dengan jual beli aset yang nyaris merupakan usaha bunuh diri, menciptakan kondisi sosial-budaya yang rentan digiring ke dalam jurang kepentingan-kepentingan yang pendek.
            Puisi-puisi kita yang dilahirkan dari kesusastraan yang tanpa punggung. Sastra yang tak punya tujuan selain sastra itu sendiri. Telah melahirkan subjek-subjek yang berpaling terhadap realitas sosial. Sastra jatuh terhadap pengulangan, kesunyian yang tak punya riwayat, bergulat antara diri dan tuhan atau kekasih yang hilang sebagai sesuatu yang justru tidak pernah dimengerti dan terjangkau. Sementara di sisi lain, faktor-faktor ekonomis ikut menentukan bagaimana wajah dan perangai kesenian dibentuk. Aku hanya belum bisa melepaskan pertanyaan sederhana ini dari diriku sendiri, sahabatku; di manakah puisi kita? Di manakah kepenyairan memiliki sisi potensial dalam hal ini?
Demikian, sahabatku. Lalu aku menjadi pencuriga terhadap tiap bait-bait yang pernah kutulis sendiri. Menguliti kembali satu persatu jejak-jejak yang pernah kutinggalkan. Dengan caranya yang khas, segalanya memang demikianlah adanya. Semangat muda yang berapi-api, kecintaan kita terhadap orang-orang yang kita temui di dalam perjalanan, peranan kita yang terkadang beralih rupa dari protagonis namun dalam sekejap saja menjadi antagonis. Di atas segala ambiguitas inilah kita terus bersiasat, menulis sajak-sajak, merekam segala petanda zaman. Kehilangan, kepergian, dan perjumpaan membikin ruang kesunyiaannya sendiri. Ketika jarak melahirkan rindu dan kedekatan melahirkan dendam.

***
            Sajak-sajak yang telah kuterima darimu, terima kasih, ia sungguh petikan kidung yang manis. Kurasakan juga bagaimana nada-nada itu lalu menjadi semacam daya gaib yang membawa batin pada tentram.  Ada kekuatan lirih, seperti bunyi tanpa ketukan yang menjalin impuls nada-nada. Rasa subtil yang semilir. Tapi mengenai sajak “Peta di Kolong Ranjang” yang manis ini, barangkali tidak semua kita bersepakat dalam faham:

Peta di Kolong Ranjang

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang saja
sunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiri
biar cahaya menyeruak di ranjang dan bantal
aku tak perduli jika luka makin mengental

aku ingin tidur di kolong ranjang saja
memintal benang-benang sepi
menjadi peta menuju kotamu
yang kerap kukunjungi dalam mimpi

Semarang, 2009

Entah cinta semacam apakah dariku untukmu ini, sahabatku. Sebab berbeda terhadap Hudan Hidayat –dalam epilog bukumu-yang memandang sajak di atas sebagai sebuah sikap yang memang tak tentu kita mengangkat senjata dalam memberi makna kedirian kita dengan bangsa ini. Bagiku tak cukup. Beranikah kita mencurigai kesunyian kita sendiri? Menguliti larik-larik puisi kita sendiri layaknya Ibrahim yang hendak menyembelih Ismail? Entah lepas dari segala sejarah bagaimana peristiwa sajak ini lahir, aku menangkap kesunyiannya menjadi naïf.
Kesunyian hanya lahir ketika kita menentukan horizon harapan dari tindak estetik yang kita pilih. Itu barangkali dalam salah satu sajakmu, kau bahkan mau meneguk dari sebuah gelas yang kosong! Tapi hal ini kemudian menjadi lain ketika aku membaca “Aswatama” dan “Sabda Amba”, misalnya. Kelekatan historis dan penggambaran sikap pengaminan terhadap getir takdir dan I’tikad hidup terasa cukup kuat. Juga pada sajak-sajak lain yang justru menekankan religiusitas dan ide-ide metafisik yang gaib.
Sahabatku, kita memang tidak selamanya menjadi subjek bagi tiap peristiwa yang meletup dalam kehidupan. Terkadang, bahkan penyair (seniman) adalah sebuah objek, sebuah bentukan itu sendiri, di mana konteks bermain menegoisasikan citraan dan gerak laku seseorang. Sebagai apapun kita, subjek maupun objek atau bahkan keduanya secara bersamaan, setidaknya kita mabuk secara sadar.
Aku barangkali tidak terlampau bersepakat dengan Sartre, ketika ia menyatakan kesenian mestinya tidak menjadi propaganda dan atau hiburan. Secara eksploratif kita memang mesti memiliki kemerdekaan seutuhnya, tetapi kemerdekaan dan pilihan adalah sesuatu yang lain barangkali. Tak ada yang mesti menjadi terlalu ketat, segalanya punya titian untuk berpijak. Itu sebabnya, seni mestinya juga dilihat dari yang propagandis dan hiburan semata sifatnya, hal ini untuk membaca bagaimana jalin-kelindan sosial-ekonomi dan politik membentuk lingkaran pengaruh yang tidak kecil terhadap kesenian.
Kesenian barangkali terlampau kita ukur dengan kedalamannya, hingga terkadang kita lupa terhadap faktor-faktor sosiologis permukaan yang sebenarnya juga tercipta dari suatu kondisi reproduksi nilai yang mendasar. Kita terlalu mengidealkan yang “universal” dan seakan jauh di sana, atau terlampau dekat ke dalam. Tentu hal ini tidak lepas dari perkembangan sejarah pergulatan ide-ide kebudayaan dalam sejarah kesusastraan kita. Kita kemudian menjadi mendiskreditkan apa-apa yang propagandis dan yang terasa gampangan (seni hiburan dan populer, misalnya). Kita berada tenggelam dari itu semua dan sedang menjalani “pseudo-pertapaan” yang tak ingin dituntaskan.

****
Kini kondisi yang jauh terhadap puisi, menarikku ke dalam suatu pancaroba –meminjam istilahmu. Meski baik aku dan puisi tidak pernah bersepakat untuk saling meninggalkan. Aku barangkali hanya sedang meragukan bagaimana cara-cara kita mendekatinya, bagaimana sikap kita mengedepankannya pada pembaca, bagaimana kita menciptakan suatu atmosfir itu sendiri dari dalam batin untuk kemudian kita ledakkan kepada kondisi sosial yang ada. Terkadang aku bersengaja berjarak dengan buku-buku, melakukan diskusi-diskusi paralel dengan komunitas-komunitas yang adanya seperti sekedar dan sedikit mengupayakan apa yang terlintas dalam pikiran secara spontan. Tapi tentu ini tak cukup, ada begitu banyak perangkat dengan visi dan nilai berbeda yang juga sedang berpinak di sekitar kita. Kau boleh menjadikannya kawan atau bahkan lawan. Bahkan mungkin bukan keduanya.
Barangkali kita bisa beriring dalam kian hal, dalam bagaimana kesunyian mesti diamini dan didekapi. Barangkali seperti katamu, kita bisa memulainya dari yang disisakan dari kamar kita, dari altar, tanpa tuhan,tanpa doa,tanpa siapa-siapa. Memulainya dari apa yang dekat dengan diri kita sendiri. Sebab seperti pernah diucap salah satu penyair dan pelukis kita, Jeihan Soekmantoro; Pengantar terbaik adalah iman diri sendiri.
Sahabatku, kurasa aku terlampau banyak bicara. Inilah sedikit dari beberapa hal yang ingin kusampaikan padamu sebagai seorang sahabat yang karib. Kuucapkan selamat untuk kelahiran buku puisi perdanamu ini, tentu akan memperkaya khasanah sastra kita. Semoga di lain waktu, kau sudi membalas surat ini. Meski tidak lagi berbentuk teks barangkali, mungkin suatu perjalanan menuju Yogyakarta –tempatku mukim kini, atau cerita-cerita dari gerbong-gerbongmu yang lain. Aku tunggu raut-keriput dari perjalan sepatumu berikutnya. Lalu kita saling tertawa terbahak-bahak sebelum akhirnya airmata yang memilih merdeka menetas dan tidak hanya untuk jatuh atau memecah ke tanah.
Syahdan, setangkai bunga pernah tumbuh dan lahir saat sebelumnya seseorang berkemas pergi ke sudut batin, dan ia tak pernah tahu.[]

Yogyakarta, Juli 2012

Sahabatmu,
Ahmad Kekal Hamdani



* Disampaikan dalam diskusi dan bedah buku puisi “Rel Kereta dan Bangku Tunggu yang Memucat”, karya Galih Pandu Adi, di Kampus FIB UNDIP, Pleburan, Semarang, 13 Juli 2012.

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author