PENYAIR: ANTARA KESALIKAN DAN PENYINGKAPAN


Oleh Ahmad Kekal Hamdani

 

Sebuah daerah baru telah ditemukan seorang penyair, ketika suatu saat menyadari dirinya telah terhempas dalam suasana aneh dan melukainya (Kriapur, 1986).

 

Membincangkan penyair dan dunianya di dalam khazanah kesusastraan kini sepintas terkesan seperti usaha pernyataan-pernyataan apologis. Apalagi jika wacana atau perbincangan tentang subjektifitas kepenyairan ini dilemparkan oleh seorang penyair, dan dilemparkan ke tengah-tengah masyarakat yang miskin sensitifitas terhadap pirasa puitik serta nilai estetik dalam hidup kesehariannya. Secara naif terkesan semacam aktifitas berkoar-koar di tengah pasar atau seperti berteriak di telinga orang-orang yang tuli.

Ambisi terhadap objektifitas sedikit-banyak menjadi penyumbang besar terhadap asumsi di atas. Ilmu pengetahuan modern dengan hasrat positivistiknya serta jaring-jaring metodelogis lewat institusi pendidikan menghancurkan subjektifitas-individual ini. Subjek direduksi menjadi objek. Penyair jadi tidak penting untuk menjadi sumber utama penggalian terhadap usaha-usaha tafsir puisi serta penjelajahan ke dunia makna. Hal ini ada benarnya, bahkan ada baiknya. Tapi jika berkonsekuensi menghilangkan orisinalitas yang mesti ditempa dari individu-penyair barangkali kita mesti berpikir ulang.

Seperti membincangkan “manusia” baik dalam tradisi filosofis maupun antropologis, membincangkan sosok “penyair” juga menjadi suatu bahasan yang gampang-gampang susah. Terlampau banyak dimensi untuk membincangkannya. Tapi marilah kita coba menggali uniqum manusia ini dari sekian segi saja. Di antaranya yang ingin saya tawarkan dimensi kesadaran dan given-nya. Yang pertama, saya memaksudkannya membincang penyair sebagai jalan kesalikan. Kedua, kepenyairan sebagai sesuatu yang terberi -di mana yang puitis dan ruang kontemplatif itu datang pada seorang penyair di luar dirinya an-sich. Keduanya nyaris memiliki paradoksal dalam hubungannya; ambivalensi dalam memahami mana mempengaruhi yang mana. 

Acep Zamzam Noer, yang memandang kepenyairan (dalam antologi puisinya;  Tamparlah Mukaku) sebagai kutukan yang tak mampu ditolaknya, nyaris beranggapan bahwa kepenyairan seperti iman yang tak mampu dienyahkannya. Hal ini diafirmasinya juga dalam esainya tentang sastra kaitannya dengan dunia pesantren; ia mengamini bahwa sensitifitas seni besar hubungannya dengan spritualitas murni. Di mana dorongan-dorongan akan “keindahan” bertalian erat dengan proses pencarian akan yang hakiki. Bukankah “Allah itu indah dan mencintai keindahan”? 

  Dari tradisi sufisme yang lebih lampau kita juga bisa menemukan pengimanan semacam ini. di mana dalam sejarahnya sufi-sufi besar dunia juga merupakan penyair besar sekaligus. Sebut saja sebagai misal; al-Hallaj, Jalaluddin Rumi, Attar, Ibnu Arabi, Rabi'ah al-Adawiyah, Hamzah Fansuri dan sebagainya. Hal ini tentu tidak mudah diterima oleh meraka yang besar dalam tempaan rasionalitas modern yang di dalamnya pandangan terhadap yang rasional begitu dominan, utamanya jika kita lihat dalam perdebatan ideologis tanpa ujung antara kapitalisme dan sosialisme -bagi keduanya agama dan spiritualitas adalah candu.

Sementara pada peradaban timur, di mana agama banyak dilahirkan, spiritualitas merupakan puncak bagi segala tujuan dan cita-cita. Ia merupakan jembatan pada yang absolut -bukan dalam konsepsi Hegelian- dan yang universal. Mistisisme timur yang lahir dari proses panjang peradaban manusia bukanlah sebentuk dari keterbelakangan budaya. Ia lahir dari evolusi-reflektif yang panjang akan tahapan manusia memahami diri dan kesemestaannya.

Tentu saya tak sedang berusaha melakukan usaha dikotomis Timur dan Barat. Dalam titik tekan tertentu kedua kutub klasik ini merupakan sesuatu yang juga didorong oleh semangat emansipatif akan kemanusiaan. Namun sekularisme yang lahir atas usaha melepaskan diri dari dominasi gereja di dunia Barat juga menyimpan jurang-jurang kemanusiaannya. Keterpencilan manusia di tengah-tengah kosmologinya merupakan bentuk diaklektis antara dorongan-dorongan batin yang mengatasi bentuk dan batas-batas material. Di sinilah, spiritualitas dan dunia yang esoteris menjadi benang merah tak tampak namun secara bersamaan menjadi pengikat dan pendorong adab kemanusiaan kita.

Spiritualitas yang memberikan bentuknya lewat mistisisme adalah fitrah manusia yang melampaui evolusi fisisnya. Manusia sebagai seorang salik, sebagai seorang pencari akan kedirian dan apa yang di sekitarnya, terus menerus melakukan usaha-usaha menembus batas-batas dialektik antara yang material dan supra-material ini. Dan penyair adalah individu yang secara sadar maupun terpanggil merupakan pribadi yang mengamini jalan simpang-dialektis ini. Berdiri tegap di antara realitas, simbol-simbol dan bahasa. Meliuk di sela-sela tanda dan makna. Mengalami keterlemparan ke dalam jagad asing yang berusaha ditembusnya; jalan pencari. 

Namun tak semua pencari mendapatkan apa yang dicari. Itu sebabnya dalam terminologi mistik hampir selalu terdapat dimensi penyingkapan; yakni ketika dibukanya tabir-tabir realitas menuju inti terdalam dari hakikat sesuatu. Penyingkapan ini tidak selamanya mesti kita maknai sebagai yang hubungannya dengan tuhan semata. Tetapi juga suatu conditioning-posision seorang subjek (penyair) dalam lingkungan kosmos dan realitas sosialnya. Sehingga produksi pemaknaan dapat terus menerus dilahirkan lewat sintesa menembus peristiwa material dan dogmatisme nilai-nilai. Di luar mistisisme dan sufisme, jalan kesalikan -bagi saya- mesti dibarengi dengan usaha kontekstualisasi zaman dan kehadiran ruang. Bukankah juga dalam khazanah agama (Islam) kita pernah mendengar perintah untuk berjalanlah di muka bumi dan ber-tadabbur-lah.

Itu sebabnya saya percaya bahwa; kepanyairan pada tiap zaman, di atas segala ke-sepele-annya, ia tak pernah begitu bermain-main. Chairil Anwar dalam suatu pidatonya berkata; “Tiap seniman harus seorang perintis jalan, adik. Penuh keberanian, tenaga hidup. Tidak segan memasuki hutan rimba penuh binatang-binatang buas, mengarungi lautan lebar tak bertepi.” Bukankah butuh keberanian besar menghancurkan kebinatangan kita? terlebih jika Ular berbisa itu menghuni dada kita sendiri![]

 

Sumber: Koran Merapi, 7 April 2013


0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author