PERJALANAN DALAM TUBUH PUISI: CATATAN UNTUK KITAB PUISI REMBULAN DI TAMAN KABARET KARYA KEKAL HAMDANI[1]


 Oleh Akhmad Taufiq

            Membaca kitab puisi Rembulan di Taman Kabaret karya Kekal Hamdani seoalah kita diajak menyusuri lorong imaji yang gelap nan sunyi, yang di dalamnya berderet bebatuan dalam dinding keIlahian yang mampu memercikkan cahaya pada hal-hal yang imanen, antara sepatu  dan tubuh yang tak jarang dipilukan. Penyair mencoba membangun itu semua dalam sebuah refleksi yang dalam yang terkadang kita menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah, lazim, atau sebenarnya itu biasa-biasa saja; akan tetapi yang terjadi sebaliknya, Kekal sebagai seorang penyair mampu memaknai dan merefleksikannya secara mendalam.
Sepintas, kitab puisi Rembulan di Taman Kabaret  ini terasa begitu romantis, sama romantisnya dengan pilihan judul, diksi, dan bunyi bahasa yang dipilih oleh penyair, yang bila ditelisik lebih dalam, banyak didominasi bunyi-bunyi euphoni. Oleh karena itu, puisi ini terasa begitu indah, mendayu bak seorang perjaka atau perawan yang dirundung cinta dan rindu.[2] Ya, memang puisi ini banyak berkisah tentang cinta dan rindu; akan tetapi dibalik keromantisan cinta dan rindu itu penyair ingin menghadirkan sebuah ruang pendalaman dan pengahayatan hidup yang luar biasa. Hiruk-pikuk dan kecamuk kehidupan barangkali menurut penyair boleh saja terjadi; akan tetapi, penghayatan atas itu semua dalam sebuah keterdiaman penyair menjadi sebuah tuntutan yang harus bisa dihadirkan. Mungkin dalam konteks itulah penyair ‘meminjam’ diksi rembulan menjadi salah satu kekuatan dalam judul kitab puisi ini.
           
Perjalanan
            Inilah sebentuk makna kehadiran. Puisi bagi Kekal juga merupakan sebentuk kehadiran. Kehadiran untuk memaknai sebuah perjalanan. Perjalanan yang tak sekedar melintasi ruang teritorial, tapi sekaligus melintasi ruang-ruang bahasa yang muncul dalam setiap kehadiran sang Penyair.[3]  Oleh karena itu, perjalanan ini menjadi begitu berarti bagi sebuah kehadiran puisi. Makna dan ruas historisitas puisi, barangkali juga dapat diletakkan dalam konteks itu.
            Sebagai sebuah perjalanan bahasa, kitab puisi Rembulan di Taman Kabaret banyak mengeksplorasi diksi-diksi batu, daun, sepatu, dan laut. Diksi-diksi itu diolah sedemikian rupa menjadi tatanan struktur yang apik; sekaligus tidak kehilangan energi maknanya. Dapat kita baca pada halaman 5 dalam sebuah judul puisi Prosesium di bait terakhir.
dan kau, rekah bibirmu
memeluk inginku
meminangmu dengan nama
dzikir batu-batu.
           
            Bahkan, untuk diksi sepatu muncul setidaknya dapat dijumpai pada judul puisi Tak Kau Temukan Aku di sini, Sepatu yang Sendiri Berjalan ke Utara, Stasiun Sehabis Hujan.
            …
            hujan pecah
            lantas rebah, memeluk
            sepatu
            berkisah tapak tentang
            waktu
           
            Di sisi lain, diksi laut misalnya mampu dihidupkan dengan metafora yang unik /laut dingin yang runcing/, lalu pada judul Surat Laut dan Epitaf Laut.[4] Saya secara pribadi sulit membangun imaji tentang epitaf laut itu; akan tetapi saya akui perpaduan diksi ini sungguh mampu melahirkan energi makna tentang laut itu sendiri, yang memang penyair sepertinya susah untuk dipisahkan dengannya.

Tubuh Kekal, Tubuh Puisi
Serupa tubuh, puisi merupakan konstruksi dari tubuh-tubuh bahasa. Oleh karena itu, puisi adalah hasil dari proses persetubuhan antara penyair dengan repertoar bahasa yang dimilikinya. Secara jujur dapat saya nyatakan, ketika saya membaca kitab puisi ini, saya seperti melihat tubuh penyair itu sendiri. Penyair yang yang sunyi, penyair yang gelisah, penyair yang romantis, sekaligus penyair yang religi.[5]
Memang, dalam tubuh itu tidaklah tampak ada perselingkuhan, karena sang Penyair sepertinya berusaha menjaga untuk senantiasa jujur dengan keadaan yang dialaminya. Sebuah tubuh yang bergerak dari ruas imanensi menuju transendensi. Batu, sepatu, laut, putik dada ibu, dua pulau, dan kedua paha waktu sebenarnya adalah sesuatu yang imanen. Domain manusia yang tak dapat dipisahkan dengan aspek duniawi sekaligus berkonjungsi dengan metaforisme tentang tubuh. Oleh karena kitab puisi ini juga berkonjungsi dengan metaforisme tentang tubuh, maka puisi ini bisa menjadi seksis.
Seksis bagi pembacanya untuk dihantarkan pada sesuatu yang transenden oleh penyairnya, maka muncullah dzikir batu, barzanji, dan pencarian arah.
sementara laut menelan apa saja dengan gambar bulan di
atasnya, sang pertapa hanya terus saja mencipta arah yang
disepakatinya dalam hatinya sendiri mungkin, di sanalah
barat, ucapnya lirih

maka tubuh puisi dengan demikian seolah menyatu dengan tubuh penyairnya. Penyair senantiasa hadir dengan segenap jiwanya dalam setiap kata, baris, dan bait puisi yang ditulisnya. Maka, jangan disalahkan Kekal menjadi Penyair.

Kaliurang-Jember, 8 April 2013




[1]  Tulisan ini disajikan dalam acara bedah kitab puisi Rembulan di Taman Kabaret  karya Kekal Hamdani yang diselenggarakan oleh Kelompok Belajar Tikungan pada 9 April 2013
[2] Citra estetik yang serupa juga dapat kita rasakan dalam puisi-puisi Melayu, yang sekarang banyak diwarisi secara langsung oleh saudara-saudara di Malaysia dan Brunai.
[3]  Dalam catatan saya, setidaknya penyair telah menulis puisi dalam sebuah perjalanan di beberapa daerah, antara lain; Jember, Pamekasan, Yogyakarta, dan Jakarta.
[4] Catatan singkat pada batu nisan untuk mengenang orang yang dikubur.
[5] Gambaran ini sepertinya terlalu berani untuk saya nyatakan, akan tetapi setidaknya itulah kesan subjektif saya yang barangkali sepintas dan penuh gegabah untuk menggambarkan diri penyair.

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author