: surat untuk edvard munch
[Satu]
Malam
yang menggantung telah menjatuhkan diri pada pagi hari, Edvard.
Kusaksikan ribuan mata yang terpejam dari gurat murung tanganmu. Apakah
yang mampu ditangkap dari mata yang terpejam? barangkali ribuan
perempuan dengan tubuhnya yang telanjang telah melemparkan dirinya ke
danau. Seperti bulan yang menetes dan membiarkan bayangnya larut dalam
riak-riak kecil; sebuah batin yang pedih dan terluka.
kesunyian mencengkramku, menelanjangiku tanpa tabir apapun yang mampu disulam kata-kata dan topeng dari laku-laku manusia, tapi aku terus mempertanyakannya; bahwa apakah kita benar-benar mampu memilikinya, Edvard? Aku mendengar suara burung-burung nazar mencabik dinding beku kebodohanku, tapi kusaksikan telinga-telinga sekitarku mendandani dirinya seperti terompet tahun baru. Manusia Edvard, barangkali tak membutuhkan kebenaran. Karena kebenaran tak pernah sendirian, ia tak soliter. Ia seperti kodrat debu yang tak pernah sendiri, selalu mengikuti angin untuk bergerombol dengan sesamanya.
Edvard, pinjamkan matamu yang terpejam. Karena mataku telah memutuskan menjadi seseorang yang terduduk di taman serta menjebakkan dirinya pada penderitaan-penderitaan kecil. Ia tak mampu lagi melihat penderitaan dibicarakan sembari tertawa atau melihat tawa yang menyimpan dendam untuk kemerdekaan yang seperti bocah-bocah kecil bermain kejar dengan layang-layang. Mataku berkelana menangkap warna dari kesedihan yang melarikan diri dari kota-kota maupun desa-desa yang dihuni dewa-dewa. Dari mata pejammu biarlah kurenggut segala yang tak mampu kau gambarkan dengan mata terbuka; hening sempurna atau bahkan airmata yang mengutuk dirinya menjadi hari baru bagi kutukan.
kesunyian mencengkramku, menelanjangiku tanpa tabir apapun yang mampu disulam kata-kata dan topeng dari laku-laku manusia, tapi aku terus mempertanyakannya; bahwa apakah kita benar-benar mampu memilikinya, Edvard? Aku mendengar suara burung-burung nazar mencabik dinding beku kebodohanku, tapi kusaksikan telinga-telinga sekitarku mendandani dirinya seperti terompet tahun baru. Manusia Edvard, barangkali tak membutuhkan kebenaran. Karena kebenaran tak pernah sendirian, ia tak soliter. Ia seperti kodrat debu yang tak pernah sendiri, selalu mengikuti angin untuk bergerombol dengan sesamanya.
Edvard, pinjamkan matamu yang terpejam. Karena mataku telah memutuskan menjadi seseorang yang terduduk di taman serta menjebakkan dirinya pada penderitaan-penderitaan kecil. Ia tak mampu lagi melihat penderitaan dibicarakan sembari tertawa atau melihat tawa yang menyimpan dendam untuk kemerdekaan yang seperti bocah-bocah kecil bermain kejar dengan layang-layang. Mataku berkelana menangkap warna dari kesedihan yang melarikan diri dari kota-kota maupun desa-desa yang dihuni dewa-dewa. Dari mata pejammu biarlah kurenggut segala yang tak mampu kau gambarkan dengan mata terbuka; hening sempurna atau bahkan airmata yang mengutuk dirinya menjadi hari baru bagi kutukan.
Dance beside the water by Edvard Munch[Dua]
Edvard,
telah kueja setiap kata-kata yang mampu diucap bibir dan ditulis tangan
penyair. Peradaban-peradaban yang dicatat di buku-buku dan dilindungi
di perpustakaan, Edvard, pada akhirnya mesti takluk pada hari esok yang
tak pernah banyak bicara-yang mampu bernyanyi riang ketika senja memupus
matahari serta berkabung bagi matahari terbit, yang selalu menganggap
dirinya telah merekahkan daffodil dan melenyapkan sejuk titik embun.
Janganlah percaya pada cahaya yang terlampau kilau, Edvard. Karena aku
pun tak. Aku selalu bertanya, Edvard., dalam tidur dan terjagaku; apakah
Matahari yang tegar dan gagah itu, ataukah bunga-bunga yang
mendongakkan wajah padanya itu yang memberinya harapan untuk tetap
percaya dan ada?
Ini malam yang bersahaja untuk
bertegur sapa denganmu, Edvard. Ketika langit Yogyakarta bersih dan
jalan-jalan merapikan dirinya untuk tidur. Tentu aku tak ingin kau
membacanya dengan terheran seperti menemukan keasingan di dalam dirimu.
Sebab kita memang tak perlu terlampau mengenal, Edvard... itulah mengapa
mata kita diciptakan mampu berkedip dan terpejam -sebab bahkan matahari
memiliki usianya sendiri untuk padam. Berbahagialah, Edvard, di alam
dan warna apapun kau ada, berbahagialah untuknya yang tak pernah ada.
Karena
kini, di ruang dan tempatku hidup serta menghirup udara yang dahulu
mungkin pernah kau hirup, abad seperti jeritan dengan matanya yang
bolong dan mulut seperti lorong. Sementara keindahan yang subtil
berjalan di tengah-tengah jam-jam malas yang leleh. Keindahan itu telah
beranjak pergi dari mata kanak seorang gadis dan terduduk di taman-taman
sebagai orang tua. Terkadang kulihat ia, tanpa banyak bicara, menyihir
dirinya sendiri untuk lenyap saat warna-warna tembaga menyalakan senja
di dermaga. Zamanku ini, Edvard, adalah zaman ketika puisi tak
seharusnya ditulis, itu sebabnya aku tak ingin membaca Chairil Anwar
kini -dan kita tahu bahwa tak satu pun penyair ingin percaya itu.
The Scream by Edvard Munch
0 komentar:
Posting Komentar