Mazhab Kutub: Sebuah Catatan Kecil


~Ahmad Kekal Hamdani


Pada akhir 2010, setelah sebelumnya terlebih dahulu mendengar tentang terbitnya buku Antologi Puisi “Mazhab Kutub” akhirnya saya mendapatkannya (buku Antologi Puisi Mazhab Kutub; Pustaka Pujangga, 2010)  dari seorang kawan baik yang saya kenal. Barangkali memang telah menjadi kelumrahan dalam tradisi saya untuk tidak bisa mngambil jarak sedemikian rupa pada perjumpaan pertama terhadap suatu teks. Tidak jarang saya justru menemukan banyak keterkejutan dan ekstase puitik setelah lama buku itu tersimpan di rak, bahkan sempat lenyap entah ke mana—mungkin dipinjam kawan baik yang lain lagi, dan dengan cara yang tidak saya ketahui akhirnya buku itu kembali nongkrong di rak buku saya.

Ada sebuah dorongan untuk membuka lembaran-lembarannya kembali, dengan cara yang sangat tiba-tiba saya teringat sejumlah nama yang lama tak saya temui namun tiba-tiba mencuat begitu saja di kepala saya. Pertama: Nurel Javisyarqi, seorang penyair asal Lamongan yang dengan kegigihan dan jasa tak terampuni memprakarsai penerbitan buku ini. Kedua; Fahruddin Nasrullah (Almarhum), dan Ketiga; Bustan Basir Maras, penyair, pembina yang merangkap sebagai pemberi komentar kecil di sampul buku.

Ada sekitar 14 penyair di dalam buku ini yang banyak di antaranya saya mengenalnya secara pribadi. Untuk menyebutnya satu persatu; Matroni el-Moezany, Ahmad Muchlis Amrin, Jufri Zaituna, Mahwi Air Tawar, Ahmad Maltuf Syamsury, Alfiyan Harfi, Muhammad Ali Fakih, Imam S. Arizal, Selendang Sulaiman, Ala Roa, Muhammad Alif Mahmudi, AF Denar Daniar, Salman Rusdie Anwar, dan Bernando J. Sudjibto. Hanya satu penyair yang saya tahu belakangan menerbitkan antologi tunggalnya, yakni Alfiyan Harfi.

Barangkali 80% dari penyair-penyair muda berbakat di atas saya ketahui berasal dari Madura. Tak ayal banyak tema, metaphor bahkan kearifan-kearifan ritual Madura coba dieksplorasi di dalam kumpulan ini. Penyair asal Madura yang secara langsung tidak mengangkat  tema di atas hanya beberapa saja yang saya temukan (Matroeni, Jufri, Ala Roa, Ali Fakih,  Selendang, dan Bernando)

Sementara dalam pengantar Fahruddin Nasrullah (Almarhum) saya tidak menemukan pembahasan secara langsung mengenai puisi-puisi tertera—almarhum hanya lebih banyak membahas kesosokan Gus Zainal Arifin Toha, sosok pendiri yang memiliki sejarah besar dalam pembentukan dan pembinaan Pondok Pesantren Hasyim As’ari atau Komunitas Kutub khususnya.  Namun setidaknya dari pengantar yang beliau tulis kita (terutama yang tidak tinggal dan mukim di Yogyakarta) akan mendapat sedikit gambaran tentang sepak terjang Guz Zainal secara personal maupun Komunitas Kutub yang telah melahirkan beberapa penyair di dalam buku kumpulan karya ini.

Tulisan ini tentu tidak sedang berupaya ke arah penerangan terhadap kiprah maupun proses personal dari setiap penyair yang ada di dalam kumpulan ini. Itu tentu akan lebih kaya bila ditulis dan diwartakan oleh penyairnya sendiri. Tulisan ini pun juga tiada memiliki pretensi untuk memberi gambaran sejarah dari proses kreatif penulis-penulis di Komunitas Kutub—saya tidak memiliki kredibilitas maupun kuasa pemahaman tentang hal ini. Tulisan ini hanyalah sebuah respon personal yang tidak diniatkan suatu upaya kritik, tapi lebih didorong oleh geletar kagum membaca beberapa puisi di dalamnya yang barangkali saya/kita lewatkan selama ini ketika di senggang waktu membacanya.

Meski memang tidak bisa saya pungkiri sebagai pembaca yang jujur bahwa tidak sedikit di dalamnya puisi-puisi masih mengangkat tema-tema dan teknik yang klise. Selain itu bahkan saya mengalami kesukaran untuk mencari bangunan logika puitiknya untuk beberapa puisi di dalamnya. Tidak tertera di dalam buku ini tim penyunting, prediksi saya secara pribadi, barangkali buku ini disunting secara bersama lewat musyawarah- mufakat.

Meski memang seperti banyak di kasus antologi bersama efek ketergesaan karena dituntut deadline maupun keragaman ide dari masing-masing penyair terkadang menjadi suatu kendala yang sulit dihindari untuk ditemukannya keutuhan bersama. Akibat buruk yang tidak bisa terhindar akhirnya kurangnya penggodokan, luputnya amatan, serta permakluman. Hal ini pada akhirnya hal yang niscaya dalam suatu proses.

Ada banyak kesadaran untuk kembali ke “asal” pada puisi-puisi di dalamnya. Hal tersebut dapat menjadi pengaminan bahwa hampir seluruh penyair yang ada di dalamnya merupakan perantau yang dibesarkan dengan tradisinya masing-masing. Metafora Ibu dapat kita temukan di beberapa puisi dengan penyair yang berbeda. Rindu-biru terhadap tanah kelahiran serta sekian sajak yang mencari asal-usul lewat jalan-mistik pencarian akan tuhan sebagai sumber pertama dan tunggal dari seluruh realitas imanen maupun transenden yang kita temui. Sementara satu-dua sajak ditulis untuk menghadirkan representasi dari sosok Guz Zainal Arifin Toha.

Tidak banyak puisi pada akhirnya yang bisa saya catat di dalam tulisan ini. Hal ini dikarenakan ketakutan tulisan ini terlampau menjadi panjang dan lebih-lebih terjatuh pada justifikasi yang tak imbang. Saya hanya akan mencatat beberapa temuan saya dalam kumpulan ini yang dipilih karena pada awalnya dipancing oleh kekuatan di dalamnya yang mampu menggelitik bahkan satu dua menghantam bangunan “puisi” yang mampu saya pahami dan rasakan.

Matroni misalnya, di beberapa sajaknya yang terang dan sangat berwangi moralis saya menemukan upaya-upaya idealisasi terhadap sosok penyair itu sendiri, sebuah otokritik terhadap kepenyairan yang dengan tidak ragu-ragu coba ia ketengahkan:


Penyair adalah apa-apa
Penyair adalah separuh semesta
Dan separuhnya adalah kata-kata

Lalu di manakah tuhan?

Tuhan adalah kemenyatuan penyair dan kata-kata

(Risalah Batu-Batu)

Penyair adalah orang pertama yang memberi bantuan
Memberi tanpa laba
Membantu tanpa ada unsur apa-apa

Kini, dunia semakin luas hanya dalam diri

(Adalah Engkau)

Mimpi sebuah negeri
Yang terlalu banyak orang tidak tahu malu
Tersenyum manis hanya untuk kekuasaan
Berkata lembut hanya untuk UUD
Bertindak sopan hanya untuk fasilitas serbaada

(Negeri Tanpa Moral)

Dalam bait-bait di dua puisi pertama kita melihat upaya Matroni untuk membangun idealisasi terhadap laku kepenyairan. Meski di beberapa titik sangatlah terasa menjanggal. Tampaknya tanpa ragu dan takut Matroni tidak menghiraukan konsepsi estetika tertentu namun langsung menjurus pada pengertian. Puisi terang yang tidak menawarkan lompatan imaji terhadap pembaca namun terus-terusan mendorong pada nilai-nilai etis kehidupan sehari-hari, dalam puisi terakhir misalnya! Kita tidak bisa mengharapkan temuan nuansa maupun ekstase puitik di dalamnya, morallah yang berbicara. Meski kata “penyair” di bait-baitnya menurut saya pribadi sah-sah saja kita tasbihkan/ganti untuk “manusia” secara umum.

Ada dua puisi yang ditulis oleh penyair berbeda yang akhirnya mesti saya tulis kembali keduanya di sini secara utuh:


Ala Roa
Rahasia

dunia ada pada jalan segala sunyi
mataku menatapmu
yang itu hanya pada mataku
yang ada rahasia matamu
seperti mataku menjelma rahasia
sepotong roti dan segelas anggur merah
 atau aroma surga pada lembaran sejarah
namun, ini rahasia
semua rahasia
juga kata cinta
yang tak cukup untukmu

Yogya, 080408


Jufri Zaituna
Orang-Orang Mengira

orang-orang mengira namaku namamu
namamu yang menenggelamkan namaku

orang-orang mengira aku berjalan di jalanmu
jalanmu yang tak pernah mempertemukan jalanku

orang-orang-orang mengira mataku memandang matamu
matamu yang tak pernah memandang mataku

2009

Tampaknya saya mesti sedikit berhati-hati untuk mencoba memahami upaya pemaknaan dalam kedua sajak ini. Puisi yang pertama dari Ala Roa memiliki permainan logika yang cukup kental. Saya mesti membacanya sekian kali untuk mencoba masuk dan menikmati kejutannya. Namun jauh lebih dalam dari lompatan kata dan imaji-maji ulang-alik yang dibangunnya saya menemukan tafsir yang sama seperti banyak kita jumpai dalam puisi-puisi bernada sufistik—jika mesti kita arahkan ke sana puisi tersebut—yang mengusung bentuk cinta universal.  

Sementara di puisi kedua (Orang-Orang Mengira: Jufri Zaituna) tampak lebih horor lagi melakukan repitisi dan ulang-alik logika kata. Hal ini karena mudah sekali bagi saya untuk tergelincir ketika membaca dan mencoba mengejar maksud yang disembunyikannya. Jika puisi ini mesti kita arahkan pada dualitas antara konsep Hamba dan Khaliq dalam terminologi sufistik, kita akan mendapatkan semacam konsep relasi yang mengejutkan terhadap tafsir hamba terhadap sang Khaliq (tuhan). Sebuah makna yang tak biasa. Sebuah relasi yang bekerja secara logika negatif serta kejam memperlakukan struktur makna yang kita pahami terhadapNya dalam sehari-hari. Namun jika diarahkan turun ke wilayah relasi aku dan kekasih, sungguh tragis dan barangkali semelekete sentimentilnya.

Dua penyair ini (Ala Roa dan  Jufri Zaituna) bagi saya pribadi memilki gairah dan vitalitas yang cukup tinggi. Sebuah energi eksistensial yang membebani diri mereka. Jika bukan penyair barangkali sangat berpotensi membuat orang awam pada umumnya menjadi gila otomatis. Sementara  kesahajaan bahasa ungkap namun cukup menawarkan suasana saya temukan di puisi “Selendang Sulaiman” berikut ini:


Selendang Sulaiman
Hujan  

Malam meringkuk
Linta tergesa turun ke kali

Yogyakarta, Desember 2008

Sepintas, puisi di atas mungkin sangat singkat dan sederhana. Tapi bagi saya cukup memberikan suatu rangsangan yang mau tidak mau membuat saya mengeluarkan seluruh kemungkinan pembendaharaan. Sayangnya saya kurang bertemu di beberapa puisi (Selendang Sulaiman) lainnya yang menurut saya kurang pengendapan.

Sementara kesahajaan, pemaknaan, serta siasat diksi yang cukup rapi saya temukan dalam puisi-puisi Muhammad Ali Fakih. Sepintas saja kita bisa menangkap kebeningannya. Meski bagi saya pribadi puisi-puisi Ali Fakih yang disertakan di dalam buku ini tidak sedahsyat puisinya yang lain yang saya sempat baca belakangan di media masssa. Untuk sekedar memilih satu puisi, di mana saya jatuh hati terhadap kehalusannya:


Muhammad Ali Fakih
Di Luar Jendela

di luar jendela
suara berlagu
di luar waktu
di dasar jiwa

seperti suaraMu
yang mungkin hanya lewat
bertalu-talu
mengetuk pintu yang berkarat

ada tangis, namun tidak air mata
ada iba, tak kunjung terbalas sapa

lalu kamar kotor ini
dan kabut yang memberat di mata
hanya tinggal mimpi
tuhan, tinggal sebak di dada

jogja, 2009-2010  

Kemudian saya juga tiba pada pembentukan nuansa dan imaji yang halus dari penyair yang sebenarnya lebih saya kenal sebagai aktivis mahasiswa belakangan ini, Imam S. Arizal. Hal ini barangkali karena kiprahnya di organ ekstra Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga juga sebagai mantan Ketua Cabang PMII Yogyakarta. Bagi pembaca yang cuma pernah melihat sahabat yang satu ini berbicara sebagai organisatoris pantas untuk memasang wajah terkejut membaca puisi-manisnya di bawah ini sebagai permisalan:


aku berlari
menyusuri lipatan-lipatan pasir
hingga bayang-bayangmu
menjelma pecahan fajar
(Malam di Perantauan)

alangkah sederhana buih-buih
laut kenjeran
perahu-perahu menepi
setelah beberapa episode
pasang gelombang dilalui

(Narasi Laut Kenjeran)

Saya tidak mengerti sebab pasti mengapa penyair yang satu ini belakangan hilang dari lingkungan kerja-kerja puisi. Puisinya dalam kumpulan ini barangkali menggambarkan suatu fase awal dari apa adanya kini sebelum akhirnya menemukan bentuk pengucapan puitik yang lebih sosialistis untuk menabalkan kiprahnya—tentu saja jika tidak pensiun berkarya. Semoga.

Terdapat suatu komitmen yang kental untuk menghadirkan ke-Madura-an saya temukan dalam puisi-puisi Mahwi Air Tawar dan Ahmad Muchlis Amrin. Hal ini tentu juga ditegaskan dengan karya-karya mereka dalam bentuk yang lain, Cerpen misalnya. Meski dalam buku ini saya tidak menemukan puisi Muchlis Amrin seutuh ketika saya baca dalam media seperti Kompas. Puisinya sangat bertabur metafor dan diksi ke-Madura-an namun gagal membentuk suasana yang justru berhasil dibangun oleh penyair-penyair dalam buku yang sama namun secara bersamaan kurang memiliki kedalaman makna. Namun satu hal yang barangkali harus kita catat dalam puisi-puisi Mahwi Air Tawar adalah kegigihannya mewartakan simbol kearifan Madura dalam puisi-puisinya.


maka kubiarkan catatan-catatan itu terus bergetar
di atas nampan sesaji nyadar
hingga maut merajut
dan rohku, rohmu, menjelma riak gelombang
menjelma ikan-ikan buat anak cucu

(Riwayat Nyadar)

Tampaknya tulisan ini sudah terlampau panjang. Tangan dan punggung saya sudah mulai mengeluh untuk meminta sejenak istirah—barangkali untuk membikin secangkir kopi lagi, menyalakan beberapa batang rokok, dan menjumpai pacar saya yang dari tadi mengeluh bosan dan ingin sejenak keluar mencari udara segar. Banyak hal yang ingin saya apresiasi sebenarnya, terutama puisi-puisi Alfiyan Harfi yang saya suka “Planet Letih”. Puisi ini sangat saya sukai kecuali satu hal: kedekatannya dalam membangun imaji dengan puisi-puisi milik Faisal Kamandobat -tentu saja intertekstualitas yang terlalu dekat maksud saya. Semoga saya masih diberi energi untuk bisa melanjtkan tulisan ini di lain waktu, ada puisi menarik yang belum saya bahas seperti karya-karya Bernando J. Sudjibto.

Secara umum puisi-puisi yang ada dalam buku ini bagi saya pribadi masihlah terlalu dini untuk bisa dikatakan keluar dari tradisi Sastra Indonesia mainstream. Bahkan banyak di antaranya perlu ditempa lebih banyak lagi. Satu hal yang saya takzimi adalah proses kreatif penyair-penyair di dalamnya, meski tentu tak bisa saya jadikan pondasi membangun argument untuk puisi-puisinya dengan semena-suka.  Saya banyak belajar dari mereka secara tidak langsung. Terakhir, jika ingin memilih puisi di dalam kumpulan ini yang paling saya sukai adalah puisi berikut, di mana penyairnya saya bayangkan bak sosok Drunken Master:


Aku Darah Sajak

aku bukan sajak yang ditatap matamu
dan dibaca bibirmu
aku sajak matamu dan bibirmu
dari darahku sendiri
ini bukan jalanmu
jalanku inilah kebahagiaan
kebahagiaan inilah jalan tuhan
manusia inilah jalanku
sedih luka adalah pengasingan
kebahagiaan yang tak kau punya
kebahagiaan yang menyiksa
pengasingan ke dalam kata ke luar semesta
aku darah sajak
tak akan menetes pada baju dan kain kafan
menetes pada mata dan bibirmu
menetes atas jalan sepanjang jalan
jalan yang mengalirkanku
pada air mata dan basah bibirmu
jika aku ada
aku tak ingin dibaca
aku tak ingin diucapkan
aku ingin mengalir saja menemukan cahaya
pada mata dan bibirmu
pada mata dan bibirku
di antara kelopak layu jiwa-jiwa
jika aku tiada
aku darah sajak
hanya ingin kembali menemui asal-usulnya
dalam mata dan bibirmu
dalam mata dan bibirku
sebelum menetes jadi kata

Yogya, 170408.

Tabik.







0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author