Ahmad Kekal Hamdani
Apakah yang membedakan nasib manusia
dengan sebuah tragedi? Barangkali hanya sebatas nama.Kemanusiaan dan apa yang
berputar di sekitarnya—sebagai realitas—terkadang hanyalah sebentuk pembauran
dari bencana-bencana kecil yang tersusun rapi. Di titik tegang yang demikian
sejarah manusia runtuh dan dibangun kembali dengan visi-visi eskatologik yang
kerap diposisikan tabu dan khas kepercayaan samawi dengan pengikut-pengikutnya
yang “fanatik”.
Kemunculan modernitas yang dipicu oleh rasionalitas masyarakat sekuler
telah melahirkan peradaban-peradaban mesin yang hampir tanpa kendali. Semangat Renaisans dalam
memerdekakan subjektifitas manusia mesti berhadapan dengan hasrat kemanusiaan
yang berkembang tanpa batas. Hak asasi, kebebasan, dan kemakmuran
ekonomi,adalah beberapa dari mimpi masyarakat modern selain kebahagiaan semu
yang mereka temukan dengan mencipta realitas-realitas imajiner.
Kita dibenturkan dengan usaha pencarian
kebebasan yang problematik. Di mana pencarian superioritas subjek telah
membantu umat manusia menciptakan senjata-senjata penghancur dan memilah-milah
medan identitas dalam ketegangan medan bayang-bayang reflektif yang tak dapat
dielaknya sendiri. Ilmu pengetahuan membantu manusia mengkategorisasikan kosmos
namun gagal dalam membantu menemukan posisi antara ilmu sebagai alat penguasaan
dengan dahaga eksistensial purbanya yang tak pernah padam.
Dalam perkembangan agama lahirlah sekulerisasi, manusia mencoba
memisahkan yang religius dan dogma-dogma lama agama dari papan catur kehidupan.
Namun kita menyadari, manusia hanya membuat citra-citra tuhan yang baru di
dalamnya dengan pola penghambaan realitas-realitas yang digelembungkan menjadi hyperreality.
Manusia modern meninggalkan kesengsaraan dan ketidakmampuan
rasionalitasnya menghadapi iman ke dalam bentuk tragedi dan
penderitaan-penderitaan lain yang berujung pada perdebatan mutakhir perihal
demokrasi, neoliberalisme, pluralisme,multikulturalisme, dan bahkan terorisme.
Meski di dalam asas negara kita terdapat
sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dan sejakawal mula agama (yang terlembagakan)
telah mengambil peranan besar di dalam percaturan sosio-politik bangsa kita.
Hal ini bukanlah jaminan bagi masyarakat kita mulai dari aparatur negara hingga
masyarakat awam untuk berlaku secara (nilai) agamis. Bukan jaminan pula
untuk tidak adanya “tuhan-tuhanan” di antara Tuhan yang sebenarnya.
Agama sebagai penuntun“jalan hidup” telah
disudutkan pada sifat politisnya sebagai alat legitimasi semata. Dalam
terminologi Islam agama telah nyaris kehilangan garis horisontal “Hablumin
an-Annas” serta “Hablu min al-Alam”nya. Pertama, inilah
yang kita sebut pertalian agama dengan kebudayaannya. Kedua, dapat
kita pahami sebagai pertalian agama dengan peradabannya. Itu sebabnya, sejak
zaman Nusantara, kolonialisme, hingga Indonesia modern; agama -lewat
kelembagaan- termasuk yang paling rentan menunggangi dan ditunggangi karena
kehilangan “kesakralan” serta “kesuciannya” secara horisontal.
Kemunculan sastra sufistik barangkali
suatu upaya menutupi kekosongan dalam perihal ini di bidang sastra. Meski—hemat
penulis—sebagaimana pernah digelisahkan oleh Kuntowijoyo lewat “Sastra
Profetik”, bahwa kerja proses transfer-kreatif nilai-nilai agama (Islam)
ke dalam karya maupun wacana sastra masihlah sangat minim. Jika pun ada, hal ini
banyak megalami ketimpangan karena “agama” kedudukannya sebagai sumber makna
cuma berpusar di tangga vertikalnya, Hablu min Allah. Jikapun
ada, nilai agama (Islam) muncul dengan wajahnya yang mengerikan—romantisisme
pada zaman keemasannya secara ideologis.
Hingga kini lebih dari satu dasawarsa
pasca-Reformasi, kenyataan ini tak banyak berubah. Perputaran gagasan keagamaan
hanya berpusar di pusat-pusat pendidikan baik itu Pesantren maupun PTAI. Diluar
itu tentu sangatlah langka jika dibandingkan dengan gagasan lain terutama
diskursus yang bersumber dari tradisi Barat. Tidaklah mengherankan jika kita
sering mendengar nada-nada kurang nyaman dengan pengistilahan “ke-Arab-an” atau “Ke-Islam-islam-an” dalam
banyak karya seni (sastra) yang memakai simbol-simbol dari adab Timur ini.
Garis demarkasi antara yang bernilai
religius dan non religius pun demikian tegas—bahkan kaku. Wajah keagamaan kita
pun yang mulanya bersumber dari tradisi Hindu, Budha, Islam dan Protestan
tiba-tiba lenyap sebagai suatu wajah kebudayaan. Puing-puing kebudayaan yang
hidup di masyarakat tradisionallah yang tersisa. Hingga cukup alot proses
akulturasi dan asimilisasi terjadi sebagaimana terjadi pada masa-masa
pra-Indonesia.
Itu sebabnya—sebagai suatu paradigma—akan
cukup memperkaya jika upaya-upaya membumikan nilai-nilai Islam ke dalam
kesenian diiringi pula pada keinsafan Agama sebagai produk kebudayaan—dan
sebaliknya. Sebagai suatu ajaran ataupun paradigma yang tidak hanya menjilati
kaki dewa-dewa, mereguk anggur dari cawan tuhan, tetapi mengangkat kualitas
manusia dalam derajatnya sebagai khalifah “Setiap dari kamu adalah
pemimpin dan tiap-tiap dari pemimpin akan dimintai pertanggung-jawabannya
(al-hadist)”, yang pada akhirnya bertanggung jawab pula untuk memakmurkan
kehidupan di bumi –Rahmatanlil ‘Alamin.
Untuk pada akhirnya batas-batas karya yang
berwawasan agama mampu menjadi lebih pejal dan menyentuh persoalan riil. Tidak
hanya sajak-sajak Hamzah Fansuri, Abdul Hadi WM, Acep Zamzam Noor, atau
beberapa nama lagi yang bernilai sufistik, akan tetapi juga sajak-sajak Widji
Thukul, Rendra, dan sajak protes sosial lainnya sebagai misal juga patut dikaji
dan direproduksi ulang dalam term keagamaan—dari ajaran agama apapun itu. Agar
spirit agama (yang tidak hanya bersifat moral-etik) dapat melingkupi dan merangkul
pula persoalan hari ini.
Tentu hal ini bukanlah upaya menyuntikkan
nilai-nilai dogmatis yang final dan kaku ke dalam karya-karya seni (sastra). Di
dalam sejarahnya sendiri misalnya, sufisme juga merupakan suatu bentuk respon
tertentu terhadap realitas di zamannya di mana ajaran-ajaran cenderung sangat
formalis dan kenyataan sosial-masyarakat semakin mengerucut ke materialisme.
Namun, bahkan untuk mengambil spirit semacam ini dalam konteks pola
masyarakatkini hal ini tentu tidaklah cukup. Kompleksitas persoalan masyarakat
kini tidak cukup bagi kita untuk bersembunyi jauh di belakang kebesaran Tuhan.
Seni memang bukan satu-satunya yang dapat
mengupayakan ke-maslahatan (kepentingan umum), ia tidak
sendiri. Tetapi sebagai ruang penciptaan dan eksplorasi keindahan, seni
merupakan benteng utama yang dapat kita gunakan untuk memperlihatkan wajah
agama yang toleran dan egaliter. Agama yang merasuk ke inti setiap jantung
kehidupan, yang mencoba memberi jembatan ataupun simpul-simpul integratif pada
jurang-jurang adab modern.
Kemenangan barangkali menyediakan
satu wajah, tapi lain halnya dengan kebenaran; ia sangat mungkin
memiliki seribu wajah.[]
Sumber Gambar:
· http://www.liveauctioneers.com/item/15962892_islamic-style-bronze-silver-inlaid-ceremonial-sword
0 komentar:
Posting Komentar