KAMPUNG HALAMAN KATA DAN KITA

Barangkali memang adalah kodrat, bahwa tiap-tiap dari segala sesuatu memiliki paradoks di dalam tubuhnya sendiri. Agar setiap entitas kemudian mendapatkan interaksinya dengan yang lain, membangun dialektika dari saat ke saat menemukan posisinya yang ajeg dan tak ada ujung.
Proses demikian akan menjadi bentuk harmonisasi bila diiringi dengan sebentuk kearifan dan tradisi komunikasi yang matang dan kondusif. Namun sebaliknya, akan menjadi sebuah polemik yang berujung pada kerugian bila proses komunikasi itu berupa tumbukan antara dua kutub yang berbeda dengan kekurangan kedewasaan dalam membedakan realitas ide dan realitas riil di lapangan praksisnya.
Belakangan ini di perbincangan sastra Yogyakarta hal yang demikian tiba-tiba santer menyeruak ke permukaan. Diawali seputar anasir kebangkitan sastra Yogya, yang juga saya tulis dalam menanggapi esai Otto Sukatno CR (MP No 45 TH 63, Februari 2011) hingga polemik persoalan Yayasan Sastra Yogya (YSY) yang pada belia usianya memberikan penghargaan terhadap tiga pelaku dunia sastra; Prof C. Soebakti Soemanto, Sri Widati dan Evi Idawati.
Tentu bukanlah hal yang mudah mencari objektivitas dalam hal siapa yang mesti dimenangkan dalam membincang konstribusi sastra yang kini mengalami demokratisasi di banyak wilayah ruangnya. Baik sastra sebagai gerakan sosial-kultur an sich maupun sastra sebagai teks dengan kemungkinan-kemungkinan kekuatan media yang ada. Hal ini kemudian menarik polemik yang kini cukup memberikan warna dalam membincangkan gerakan sastra mutakhir di Yogyakarta.
Apa yang ditulis oleh cerpenis Mahwi Air Tawar (MP No 05 Th 64, April 2011) dalam mempertanyakan kembali kredibilitas dan konsistensi lembaga-lembaga kebudayaan (sastra) di Yogyakarta dan Indonesia secara umum (Tempo, misalnya) adalah sebentuk dialog. Di mana kemungkinan dialektika mencoba dibangun, dus hal ini langsung mendapatkan tanggapan dari beberapa penikmat sastra dengan sebentuk ego yang keluar dari konteks pembicaraan dan kurang berdasar. Bukannya membicarakan persoalan utama tentang polemik ‘Yayasan Sastra Yogyakarta’ justru menyerang subjektivitas personal.
Hal ini diperkuat bagaimana tanggapan-tanggapan ini sangat berbau sarkasme dengan pilihan-pilihan ungkapan yang dititik-beratkan pada “etika pada senior” dan bahkan legitimasi etnis-geografis. Titik kerancuan ini salah satunya bertumpu dalam hal definisi tentang “Sastra Yogya” sehingga garis demarkasi sastra menjadi luber dan tak tentu arah. Yang demikian menyebabkan kebocoran-kebocoran sehingga sesuatu yang “politis” mudah merangsek di dalamnya. Hingga patut kiranya bila para pelaku sastra yang bergulat di Yogyakarta mengalami kecemasan di tengah-tengah realitas sastra Indonesia secara umum yang kian gamang ini.
Saya tiba pada pertanyaan bahwa, di manakah kampung halaman kesusastraan Indonesia itu sendiri? Sebab jika persoalan titik tekannya adalah sastra “Yogya”, apakah kemudian Yogya dipahami sebagai territorial politik geografis dengan gejala-gejala realitas sosial-politiknya, atau Yogya sebagai medan kultur budaya dengan segala perangkat sosial dinamiknya, yang merdeka sebagai perhelatan budaya yang (sekali lagi) memberi konstribusi cukup besar bagi perkembangan Sastra Indonesia?
Keduanya memiliki perbedaan tajam dan konsekuensi-konsekuensi logisnya. Yang pertama ruang lingkupnya akan menjadi lebih sempit serta rentan terhadap anasir dan kecurigaan-kecurigaan politis di dalamnya, kaitannya dengan bentuk kelembagaan serta kondisi sosial-politik dan budaya setempat. Sementara yang kedua memiliki garis yang lebih lebar dengan menjebol sekat-sekat identitas sosial politis dan kultur sastra itu sendiri, yang memberi mungkin bagi kemerdekaan berkarya mendapatkan moment dan ruangnya.
Hal di atas barangkali yang luput (untuk tidak mengatakan sengaja diabaikan) dari pertimbangan Yayasan Sastra Yogyakarta (YSY) itu sendiri. Melihat bahwa begitu banyak kerancuan epistemologis dan orientasi dari ceramah pertanggung jawaban Aprinus Salam yang mewakili Yayasan Sastra Yogyakarta (YSY) tersebut. Ini menabalkan keyakinan saya bahwa; belum ada kajian dan sikap tegas terhadap redefinisi lokalitas sastra Indonesia di tengah-tengah sosial kulturnya yang heterogen.
Proses kreatif penyair Yahudi-Jerman bernama Heinrich Hein (sebagaimana pernah ditulis Ignas Kleden dalam esainya), barangkali menarik untuk menjadi pelajaran. Penyair Hein adalah potret pribadi penyair yang mesti berjuang mencari kampung halaman bagi eksistensi dan keutuhan identitasnya. Lahir di Jerman dan menghabiskan waktunya bersastra di Prancis, ia seakan tidak pantas menerima segala yang patut diterimanya. Di Prancis, ia dianggap orang Jerman. Sementara di Jerman ia dikucilkan oleh kalangan sastrawan Jerman dan lingkungannya karena dianggap Yahudi. Di Prancis ia diakui sebagai penyair besar namun tidak sebagai anggota komunitas penyair Prancis. Bahkan ia sampai meninggalkan agama Yahudi dan dibaptis Kristen pada 1825. Hingga akhirnya Hein sendiri menemukan dan mengamini tumpah darah (tanah air)-nya yaitu bahasa Jerman, sastra Jerman.
Apa yang hendak saya sampaikan adalah, bahwa polemik ataupun benturan komunikasi sastra untuk mengambil bentuk dialektiknya adalah hal yang nisacaya. Hal ini mesti dipahami dengan sikap lapang sebagai bentuk dari apresiasi sastra dan masyarakatnya. Apa yang dilontarkan Mahwi adalah sebuah gambaran kecil dari sudut pandang yang lebih luas, dengan tidak hanya meng-amsalkan kasus yang terjadi di Yogya saja tetapi juga di luar territorial dan garis-garis kultur lokal. Dengan harapan lahir sikap ketegasan dalam menarik benang-benang merah serta rasionalisasi dari tindak-tanduk laku budaya kita, utamanya dalam konteks seni budaya (sastra) di Yogyakarta.
Menarik hal ini ke dalam wilayah etika komunikasi budaya semacam “ketidak sopanan terhadap senior” adalah salah kaprah. Kritik adalah bentuk dari perhatian dan apresiasi yang juga mesti disikapi dengan rasionalitas dan kedewasaan sikap –yang tentu saja diiringi dengan ke-empu-an terhadap persoalannya. Dan melingkarkan ini dalam identitas ke-lokal-an dengan gaya umpatan halus namun berlawan dari adab adalah jauh dari keluhuran yang hendak diperjuangkan itu sendiri. []
Yogyakarta, 2011

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author