YANG BERKATA TIDAK PADA MAUT

Oleh Ahmad Kekal Hamdani
Dalam suatu kesempatan diskusi kecil dan massif di kediaman sastrawan Raudal Tanjung Banua, tepatnya dalam forum diskusi “Rumah Lebah” di daerah Bantul (Yogyakarta), saya mendapati diri saya dirundung sesuatu. Di dalam kesempatan forum yang hangat dan penuh nuansa kekerabatan itu, dengan hikmat beberapa kalangan sastrawan muda membincangkan sosok dan karya Wisran Hadi, sastrawan/seniman asal Padang, Sumatera Barat guna memperingati tutup usia beliau di usianya yang ke-66 (pada Selasa, 28 Juni 2011) -semoga rahmat tuhan mengiringi beliau.
Diskusi yang dipantik oleh Lilik Zurmailis (pengajar sastra di Universitas Andalas Padang) dan dimoderatori Raudal Tanjung Banua sendiri berlangsung renyah dan mengalir hingga ke perbincangan persoalan kesenian, pasca-kolonialisme, modernitas dan perbincangan ringan lainnya. Dari perbincangan yang hangat dan hikmat itu, sembari menikmati panorama pedesaan yang kuat di antara keliling pohonan jati. Batin saya menukik dan menerjang ke sebalik belukar dan julangan-julangan pohon, mengembara di bukit-bukit. Lalu dengan takdzim saya nikmati alur pikiran saya yang bernegasi dan mencari sesuatu ke ruang yang lain.
Saya tersihir dan dalam beberapa titik merasa terlempar ke dalam realitas sebenarnya yang saya hadapi kini. Inspirasi dan kisah-kisah proses kreatif sosok besar seperti yang telah meninggalkan kita; WS. Rendra, Gus Dur, dan terakhir adalah teaterawan Wisran Hadi, adalah sebentuk kesedihan yang miris ketika saya kembali teringat di zaman apa kini kita (generasi penyair muda) hidup dan bergulat. Forum kecil ini telah melemparkan saya ke dalam kenyataan diri saya sendiri, yang tentu saja adalah bagian dari kekinian realitas yang terus berkembang ini.
Sebuah dunia ketika setiap laju perputaran hidup benar-benar diperas oleh kapitalisme dan borjuisasi kesenian dengan seribu topengnya yang lena, demokratisasi media yang tak kenal ampun, produksi massal hasil-hasil kebudayaan ke dalam bentuk-bentuk benda mundan ala modernitas, di mana dunia politik citra dan candu kekuasaan menjadi trend dan gaya hidup kaum muda bahkan di tataran bangku perkuliahan.
Demokratisasi media dan derasnya arus informasi digital membawa paradoksnya tersendiri bagi jagad teks (puisi). Barangkali memang sebuah kenyataan yang menggembirakan ketika pada setiap harinya kita hampir tidak dapat bisa menghitung banyaknya penyair muda yang tumbuh. Namun di sisi lain kita jadi menyadari sebagaimana kita tak dapat menemukan momen jeda untuk menyerap energi puitik yang sesungguhnya ketika dera arus itu seperti bah Nuh yang menenggelamkan peta cakrawala perpuisian kita. Sastra tumbuh deras hampir tanpa dialektika dan proses kreatif yang tajam.
Riwayat hidup para empu tentu akan menjadi sebuah kaca perbandingan yang menarik untuk refleksi atas paradigma sastra di kalangan muda kita kini. Bahwa memang bersastra (puisi) tidak semata-mata mengolah bahasa dan bergulat dengan kata. Bagaimanakah dengan potret-potret perjalanan penyair-penyair besar (dalam arti yang telah memberi konstribusi) kita di masa sebelumnya, dengan atmosfer yang tentunya memang berbeda lantas dapat menjadi ruh bagi pergerakan zamannya?
Puisi lahir dari akar kemanusiaan kita, di mana daya hidup dan vitalitas aktif dan giat memeram dan memecah diri. Menulis puisi adalah membangun ruang politik personal ke ruang sosial yang lebih lebar ke dalam suatu bentuk meta-kode bahasa. Untuk kemudian impuls dan daya kejut dari pengalaman-pengalaman impersonal ditumbukkan dengan realitas pembaca.
Kewajiban pertama seorang penyair barangkali adalah kewajiban terhadap dirinya sendiri sebagai pribadi, sebagai keutuhan, di mana energi, ruh, daya pikir dan imajinasi membangun medan bagi yang lain, bagi realitas di sekitarnya untuk memeram kode-kode budaya ke dalam medan bahasa yang otentik dan merdeka.
Dalam yang demikianlah kerja kepenyairan kemudian menjadi hal yang tidak mudah. Meski teknologi di sekitar kita telah sedemikian canggihnya memberi jalur pertukaran informasi dan ruang komunikasi yang massif, namun itu semua sama sekali tidak memberi jaminan akan lahirnya sikap terhadap kebebasan dari energi kreasi itu sendiri. Di mana pandangan hidup dapat membentuk kepribadian dan memberi tempat bagi kedirian di antara kompleksitas ruang sosialnya yang kerap bergerak secara sporadik dan mengejutkan.
Barangkali tak perlulah kita menyesalkan lahirnya arus-arus baru ini. Ketika generasi digital lantas membangun kontingennya sendiri, penerbit-penerbit kecil tumbuh seperti rumput-rumput di musim penghujan, komunitas-komunitas dibangun, media-media alternatif bermunculan, jurnal-jurnal, buletin-buletin dengan dana minim tapi dengan semangat yang berkobar, dan semacamnya. Kita hanya membutuhkan semacam pendidikan kesadaran fungsi dari kesusastraan, di mana kaum muda dapat memberi sikap (embanan) atas pola geraknya untuk mempersiapkan masa depan bagi generasinya yang akan datang, yang juga akan lahir secara tak terduga dengan kemungkinannya masing-masing.
Agar sastra tidak sekedar menjadi sampah dari dunia maya yang bergerak tanpa dinding dan sekat. Agar dunia kepenyairan tidak hanya menjadi pesta pasar malam di mana lampu-lampu menyilau hampir membutakan para pembacanya. Kita (kaum muda) tumbuh di atas tanah pijak yang kehilangan mimpi revolusi, di mana pahlawan telah mati, ketika dunia dapat digerakkan dengan hanya satu tombol “klik”. Bila saya mengutip Thendra dalam salah satu sajaknya, juga pernah ditulis Chairil Anwar di masa yang lebih lampau, semua ini memang bukan untuk ke pesta!
Saya tiba-tiba kembali ke dalam sebuah perbincangan. Di sebuah beranda dengan beberapa cangkir kopi dan kacang rebus. Ke dalam sebuah forum kecil yang hangat dengan suara-suara gemerosok daun jati yang kering dihantam musim. Batin saya kembali menukik mencari anasir-anasir bagaimana seniman (sastrawan) yang lebih mula bertahan dari maut dan mitos kematian.
Kita telah sampai juga bukan? Dalam sebuah masa ketika pribadi-pribadi besar ditumbangkan waktu dan usia. Tapi kita menjadi semakin sadar apa sebenarnya yang memelihara rantai kreatif kekaryaan para seniman (sastrawan) dari zaman ke zaman? Bahwa ruh dan semangat zaman mereka terasa hingga kini. Di sini, di sebuah beranda dengan obrolan hangat, kawan-kawan yang setia terhadap kesenian, sejarah akan terus tumbang dan tumbuh! []
Yogyakarta, 2011

Sumber: http://padangekspres.co.id/?news=nberita&id=763

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author