YANG MAHA ANEH

Kebahagiaan adalah fana, kefanaan adalah abadi, dan keabadiaan hampir seperti mimpi yang tak pernah nyata.

Dunia memang seperti dibebani oleh melankolia keajaiban-keajaiban, tapi kemanusiaan belum benar-benar siap untuk menerima kejutan dan keajaiban-keajaiban itu. Begitu kata seorang kawan; Teguh, dengan mimik yang serius. Kawan yang tidak lama saya kenal lewat pertemuan-pertemuan sastra dan diskusi-diskusi kecil tak berencana di sebuah warung kopi itu. Sesekali menghisap batang tembakaunya dalam, membolak-balik bukunya yang lusuh, dan menatap mata angin lain dengan tatapan nanar, menyala redup, seperti keseriusan yang tak sungguh. Kalau saya tebak, dia pasti sudah cukup lama kesulitan tertawa dan menangis. Dari kata-kata kawan saya itu, saya sedikit ingin berbincang dengan masyarakt sekalian tentang arti kejanggalan-kejanggalan dalam hidup. Setidaknya, lakon hidup yang ada di sekitar alam indra dan rohani saya, tentang apapun itu, yang penting keganjilan-keganjilan dan lelucon yang tidak lucu!

Masyarakat hidup bersama utopia-utopia kebahagiaan yang tidak pernah utuh. Kehidupan yang penuh alam mimpi ini adalah mitos yang berkembang biak menurut tradisinya sendiri, yakni kegilaan-kegilaan yang wajar. Apakah tidak gila namanya jika perilaku korupsi, tipu-menipu, khianat mengkhianati atau sikut kanan-kiri dikatakan sesuatu yang absah dalam politik? apakah tidak gila namanya bila hanya demi kepentingan kapitalisme yang lebih besar pasar-pasar tradisional dibumi hanguskan? sementara pelakunya sendiri pintar sekali pura-pura menangis di televisi. Dan lebih gilanya lagi penonton televisinya sendiri menyimak berita bencana alam dan kriminal sembari pacaran. Logika terbalik yang sudah kehilangan kutub positifnya. Siapakah yang patut disalahkan atas kekacauan kemanusiaan? tak ada, kecuali kebijaksanaan untuk pulang pada diri sendiri.

Saya jadi teringat, Kanjeng nabi Muhammad Saw pernah bersabda -entah diriwayatkan dari siapa- bahwa orang baik tidak bahagia (kurang lebih seperti itulah kemampuan ingatan saya). Kenapa orang baik tidak bahagia Rosul? tanya saya pada diri saya sendiri (mengandaikan ada percakapan tersendiri dalam kepala saya dengan Rasulullah). Manusia bertahan secara dinamik, dengan interaksi-interaksi dan dinamika yang beragam dan kompleks, perjalanan fisik dan batin akan menambah ke-kompleks-an seorang individu. Disitu, seseorang dituntut menjadi pribadi yang nyaris, namun tidak pernah menjadi sesuatu. Nyaris dalam kekacauan dan keteraturannya. Seseorang yang tidak memiliki kepekaan biasanya terkesan mandul sosial. Namun tidak jarang seseorang yang terlalu peka rasa empatinya terkadang justru nampak seperti orang yang sombong dan tidak melakukan apa-apa. Oleh karena itu, proses menjadi orang baik tentu tidak mudah. Apalagi jika belum apa-apa sudah mengharapkan imbalan popularitas dan ketenaran. Terkadang, orang yang baik di mata sosial pun tidak pernah benar-benar baik di mata dirinya sendiri.

***

Belakangan ini,di beberapa negara muslim timur (termasuk juga indonesia) banyak hujatan terhadap kaum tarikat-tarikat tertentu yang bagi mereka terlalu berlebihan dalam berdzikir hingga nampak seperti gerombolan orang gila. Mungkin ini dikarenakan perdebatan tentang hadits Rosul yang menyatakan "Perbanyaklah dzikir sehingga orang-orang berkata, 'engkau gila!". Tentu saya tidak akan mendebatkan tentang kesahihan hadits ini. Namun, saya sering menemukan (bahkan mungkin masyarakat semua) bahwa begitu banyaknya orang-orang yang menggilakan diri agar orang lain berkata (setidaknya dianggap), ia sedang berdzikir! bukankah ini lebih nyata kegilaannya. Ini paradoks, dan kegilaan-kegilaan yang hampir menjadi kewajaran dalam kehidupan kita sehari-hari, termasuk dalam kefanaan saya sebagai pribadi. Kebahagiaan adalah fana, kefanaan adalah abadi, dan keabadiaan hampir seperti mimpi yang tak pernah nyata.

Ini semua tentu hanya sebagian kecil dari kegilaan-kegilaan itu, manusia layaknya yang disebut oleh Johan Huizinga adalah makhluk yang bermain (Homo Ludens). Yah yang bahkan suka mempertaruhkan kekonyolan-kekonyolan dirinya sendiri demi sebuah permainan. Antara bagaimana menang untuk diriku dan kalah untuk dirimu. Bukankah hanyalah permainan semua ini? Di satu sisi, tuhan nampak terlalu serius bukan? tapi di sisi lain Ia nampak sangat asyik dengan keisengannya. Seakan-akan Ia berfirman: carilah tuhanmu dalam kebodohanmu wahai manusia. Dan di atas segala perkembangan ilmu dan pengetahuan manusia, Allah selalu menyediakan semesta kebodohan yang lebih luas untuk kemanusiaan. Semua nampak rahasia, namun semua juga nyata adanya. Demikianlah, yang aneh bagi kita, adalah yang wajar bagi orang lain. Tuhan dengan segala misterinya, adalah yang maha aneh bagi saya. Ia selalu menempatkan peristiwa dalam bejana irasional dan kejutan-kejutan yang tentu saja nampak tidak perlu pengertian dan definisi yang jelas, tapi layaknya musik, kadang tidak perlu dipermanai tapi dirasakan, ditempat yang paling lubuk dari hati nurani. Hingga yang lebih urgen pada akhirnya adalah proses dan pengalaman yang memberi pembelajaran itu sendiri.

Disinilah akhirnya nampak arti dari sebuah ketawakkalan, penyerahan diri, kepasrahan atas segala permainan lengkap dengan keasyikan juga kebusukannya. Kesadaran dan pemenuhan secara total akan kehidupan. Perhiasan yang akan membuat kita tertawa dan menangis, antara mendapatkan dan kehilangan. Di dunia ini: Kebahagiaan adalah fana, kefanaan adalah abadi, dan keabadiaan hampir seperti mimpi yang tak pernah nyata.



Yogyakarta, 2010

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author