KIAI KAKI LIMA

~Ahmad Kekal Hamdani

Senja kuning dibakar matahari yang semurup ke barat. Jalan-jalan dipenuhi dengan kendaraan yang sunyi menjelang maghrib turun. Lampu-lampu kota yang bersitegang dengan cahaya matahari yang hampir punah, berebut terang di sore yang dipenuhi geletar kangen. Suasana di mana saya biasa pulang dari hibuknya agenda-agenda yang tak semuanya jelas untuk apa. Terkadang, sehabis saya berdiskusi dengan beberapa kawan di emperan kampus –menjadi kecoak-kecoak perguruan tinggi. Terkadang juga dari sebentuk kekesalan karna seharian tak jumpa dengan moment puitik, maka saya hanya akan menghabiskan waktu dengan berjalan saja tanpa tujuan; atau kepulangan dari perjalanan ke luar kota hanya untuk mengurus bahasa yang saya sendiri tak paham benar untuk apa dan siapa.
Saya terbiasa berjalan kaki saja di sepanjang trotoar menuju pulang ke sebuah kamar kontrakan berukuran 4x5 di daerah perkampungan Papringan, Sleman, Yogyakarta. Sebuah kamar yang dipenuhi persoalan tempat saya mengeram segala bentuk perjalanan, menghembuskannya kembali di antara tumpukan-tumpukan buku yang berjajar tak rapi, beberapa botol dan kaleng bekas minuman, luka-luka sejarah yang tercecer dan sebagian tergenang jadi arak, beberapa potret, dan notebook yang menyala dengan capainya -yang seperti menagih-nagih sesuatu ke batin saya; sadis.
Di jalan-jalan inilah saya akan mengawali hikayat sebuah pertemuan dengan sosok bijak bestari (lebih tepatnya beberapa sosok) yang tak pernah saya temukan di buku dan kitab-kitab mana pun, apalagi diharap akan muncul di sebuah stasiun televisi. Tepat setelah maghrib menggeliat di antara lekuk langit yang memerah, dan udara serasa mulai temaram, di tengah perjalanan itulah saya mampir ke sebuah “angkringan”, semacam tempat makan tradisional kaki lima yang kerap biasa kita temui di kota gudeg ini. Dengan menu-menunya yang sederhana yang biasanya terdapat ‘kepala ayam’ kesukaan saya. Setelah minta dibakar di atas arang yang menyala, dan harumnya sampai ke alam khusyuk saya, rasa-rasanya saya sedang sholat saja saat itu.
Beberapa orang biasanya juga akan singgah, entah itu tukang becak, pembuat stempel, pengangguran, tukang parkir yang penat seharian menjaga motor dan mobil-mobil mewah para pejabat, mahasiswa yang mukanya sedang miskin, dan tak jarang cewek-cewek cantik yang kebetulan saja suka makan ‘nasi kucing’ dan 'kepala ayam' seperti saya. Beberapa dari mereka singgah sebentar saja, memesan lalu pergi. Sebagian juga bisa berjam-jam lamanya; karena biasanya mereka masih saling mengobrol di antara jajanan dan lampu minyak yang tertempel di tiang gerobak, manis sekali. Mulai dari persoalan pekerjaan hingga persoalan khas kehidupan yang lucu namun juga terkadang pahit kayak empedu.
Dan betapa kagetnya saya ketika tiba-tiba obrolan antara penjaga ‘angkringan’ dan tukang becak itu sampai kepada gedung DPR. Saya yang berpredikat mahasiswa (dan penyair tentu saja) tiba-tiba merasa kuping panas, bagaimana tidak, saya cukup terkesan dengan cara mereka mengobrol dengan santai dan bersahaja. Saya yang seharian habis babak-belur berdiskusi dengan beberapa kawan (aktivis) soal bangsa ini, di mana kerap saya temui berapi-api hendak membikin revolusi, dan kawan-kawan kesenian yang katanya serba indah, kini saya mendengar mereka ngobrolin soal bangsa ini seperti seorang ayah kepada anaknya. Betapa maklum mereka kepada tingkah para pejabat kini yang kekanak-kanakan, yang kerjaannya tidur saat rapat, menonton bokep, saling hujat, lalu dengan senyum yang khas menyelundupkan kekayaan rakyat dan bangsa ke kantongnya sendiri. Seakan mereka terima saja, toh mereka masih bisa makan di senja begini walau seharian kudu menarik becak hingga betis-betis mereka keras serupa beton.
Benar saja, di sebelah angkringan itu memang terdapat sebuah Masjid. Sang penjual lantas berpamit kepada saya untuk sebentar saja melaksanakan shalat maghrib, saya hanya mengangguk sambil tersenyum dengan perasaan seakan tanpa dosa. Pembeli yang lain telah pulang. Saya jadi berpikir, demikian santai dan sederhananya kehidupan mereka. Betapa penjual ini pasrah, apakah ia tidak tahu bahwa salah seorang pembeli (saya) sedang lapar benar dan hanya memegang duit sedikit saja, bisa saja saya akan mencuri beberapa gorengan untuk kemudian saya makan dengan rakusnya, atau mengantongi barang sebatang dua batang rokok. Keimanan saya sedang diuji. Tapi saya tahu, saya orang baik-baik tampaknya.
Maghrib semakin tergelepar saja di aspal jalanan yang semakin kelam, dibanting dan dihuyungkan oleh mobil-mobil yang berseliweran. Penjaga angkringan telah kembali, kami dengan hangatnya lantas bercakap-cakap. Dengan tutur kata yang halus dan sesekali sembari diiringi sepucuk senyum atau tawa kecil kami obrolkan juga beberapa soal, mulai dari mana kita berasal, pengalaman rantau, hingga ke soal-soal isu konflik agama yang belakangan mencemaskan di layer televisi dan media-media cetak. Saya terkagum-kagum, dengan mimik khas wong cilik yang sedang berbicara saya dengar dari ucapannya keluar tafsir dan dalil-dalil yang kerap saya temui di pesantren, dengan beberapa kebajikan yang sangat bersahaja dengan air muka yang sama sekali tak berniat menonjolkan pengetahuaannya. Ia lebih arif dari para pendakwah dan pemfatwa yang kerap saya dengar lewat corongan-corongan di pengajian televisi yang muluk atau di alun-alun kota dulu. Diam-diam hati saya menyimpan decak kagum yang sungguh.
Angkringan; semacam warung kaki lima memang bukanlah sebuah masjid, bukan juga padepokan, bukan pesantren, bukan mimbar semacam di Taman Ismail Marzuki (TIM) tempat biasanya orang-orang (yang merasa) berbudaya berkumpul, bukan pula sebuah aula seminar tempat para cendekia memberi ceramah, ia (angkringan) tak lebih adalah rendesvouz. Sebuah tempat pertemuan orang-orang kecil memberi jeda pada hidupnya. Tempat orang-orang yang dianggap lamban mengejar hidup yang tak kenal ampun.
Namun di balik kesederhanaan pertemuan mereka, di tengah cakap yang hangat dibarengi kepulan asap rokok yang membelah cahaya remang lampu minyak, ada sebuah kebajikan dan kesahajaan yang sungguh mahal harganya. Sebuah kebajikan yang telah menjadi demikian langka di dunia yang semakin sibuk telikung kanan dan kiri. Saya tiba-tiba merasa menjadi seorang murid dari guru kehidupan yang menemukan harmoninya dengan alam keras dan angin badai takdir kemanusiaan. Layar di kepala saya terus berputar hingga ke kampung halaman tempat saya lahir, terus berputar kembali memberikan gambar perjalanan hidup saya yang dipenuhi arogansi dan kesombongan; bahkan ketika saya mencoba berbicara soal kesederhanaan dan kerendahan hati.
Di saat begini, kala senja kuning makin memerah di barat untuk berebut cahaya. Batin saya seperti sebuah nyala arang yang tiba-tiba dicelupkan begitu saja ke laut. Lanskap di sekitar saya tiba-tiba lenyap lantas menjelma medan pasir yang berputar-putar tanpa jelas mana kutub arah-Nya. Saya merasa sembahyang begitu saja. Saya amini yang asing itu datang dan memeluk saya, saya tahu, berdosa itu baik, tapi menyadari dosa itu memang lebih indah daripada bersetubuh dan membikin dosa. Menyadari dan menyesali dosa itu lebih nikmat dari arak mana-pun yang pernah ada. Tiba-tiba saya merasa tahu alasan tuhan menurunkan Adam ke bumi yang tua ini. Barangkali hanya untuk belajar menyesal? Barangkali!
Malam benar-benar telah ambruk di kota ini. Saya pun berpamitan kepada penjual yang saya hormati lebih dari presiden itu. Saya tinggalkan ia, saya tinggalkan kilasan potret itu menuju kamar saya, tempat saya dapat bercermin dengan telanjang, tempat saya mencatat apa yang barangkali melintas begitu saja. Saya akan segera menulis puisi, batin saya. Entah mengapa, tiba-tiba pipi saya seakan memerah dan jemari saya seakan-akan bertanya; siapakah penyair itu? []
Yogyakarta, April 2011

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author