SASTRA YOGYA: Antara Pesimisme dan Cita-CIta Utopis

Ahmad Kekal Hamdani
Optimisme Otto Sukatno CR (Minggu Pagi 23/1) perihal tahun 2011 sebagai fajar kebangkitan sastra Yogja sepertinya patut untuk diapresiasi. Sebagaimana harapan-harapan yang diutarakannya di dalam tulisannya tentang sastra jogja ini memiliki beberapa alasan dan diktum cukup menarik guna diperbincangkan lebih lanjut (tentunya dengan disusul konsistensi beberapa agenda seperti yang telah terlaksana belakangan ini di Yogyakarta), tanpa menghilangkan daya kritis kita dalam membaca gerakan sastra di Yogya, yang belakangan ini mengalami pasang surut dalam bentuk gerakan sastra di lapangan riil (lapangan) masyarakat. Dikatakan demikian, karena beberapa kasus yang disebutkan oleh Otto masih merupakan bentuk perayaan dari elitisisme sastra yang juga sedang merebak di beberapa kota-kota lain di Indonesia.
Tiga kegiatan sastra yang diungkapkan Otto sebagai kemungkinan baru dalam memberikan suluh sastra di Yogya barangkali memang benar. Seperti disebutkannya; Pertama, forum malam sastra oleh Keluarga Besar Teater Eska (KBTE) Indonesia. Kedua, kreasi Sigit Sugito cs, “100 Penyair Membaca Yogya”, Jum’at (7/1) di Kilometer Nol (depan Gedung Agung Yogya). Dan Ketiga, “Bincang-Bincang Sastra” yang dikomandoi Hari Leo AER, tiap bulannya di Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta. Medan sastra yang dilahirkan oleh ‘Bincang-Bincang Sastra” di Taman Budaya tentu berbeda sekali dalam memberikan pengaruh masifitas sastra daripada forum malam sastra (KBTE), lebih-lebih ‘100 Penyair Membaca Yogya’ Sigit Sugito cs. Hal ini dilihat dari konsistensi dan seberapa besar ia (forum sastra) memberikan peluang dalam menemukan benih-benih baru sastra tanpa terus saja mengibarkan nama-nama lawas yang nota-bene sudah dianggap mapan.
Saya adalah pribadi yang pesimistis jika kebangkitan sastra di Yogya, hanya diparameteri dengan bentuk kegiatan semacam itu. Yogyakarta sebagai kota yang dipercaya sebagai medan kreatif banyak seniman akan semakin pupus jika para pegiat seni hanya terjebak dalam kurung-kurung elitisisme sastra dengan bentuk ceremonial sementara. Kita mestinya dapat membaca apa yang menjadikan Yogyakarta berbeda dalam hal memenangkan gerakan kesenian di Indonesia. Perlu adanya semacam egaliterisme antar seniman (sastrawan) Yogya untuk mewujudkan demokrasi tumbuh kembangnya sastra di kota budaya ini. Semacam sikap keterbukaan dari kalangan sastrawan tua untuk senantiasa menyambut golongan muda di dalam kesusastraan, yang dalam bahasa Otto mungkin kompromitas (meski kurang tepat). Sebab senioritas di dalam realitas sosial gerakan sastra hanya akan memutus mata rantai yang sejak lama dibangun. Hal ini berkenaan dengan bagaimana atmosfir sejarah sastra Yogya dapat ditransformasikan dalam bentuknya yang kini.
Sastra yang belakangan terkooptasi dalam bentuk persinggungan antar komunitas memiliki tantangannya sendiri dengan dinamikanya yang berbeda. Di sisi mula, merebaknya komunitas sastra barangkali memberikan sebuah ruang gesekan (proses) dalam kreasi dan sosial kesenian. Namun di sisi lain, ia memberikan sentiment kepentingan antar komunitas yang bila dimaknai dengan tidak sehat justru akan menciptakan diskomunikasi sastra. Dan gerakan sastra akhirnya hanya akan menjadi hal sempit persaingan antar komunitas. Yang dalam proses selanjutnya akan mematikan pribadi sebagai titik mula kebangkitan penciptaan dan tindakan. Sebab sastra bukan hanya seni berkata-kata dengan berkonvoi ria, lebih dari pada itu ia merupakan sebuah sikap dari kondisi realitas tertentu. Di mana suara personal diletupkan ke dalam kenyataan sosial yang menerima kode bahasa.
Mari kita berkaca kepada realitas kepentingan kelompok di dalam kenyataan sastra mutakhir kita. Di mana antar komunitas saling memperebutkan jabatan elit kesastraan dengan begitu sempit tanpa memperhitungkan bahwa begitu banyak persoalan di luar sastra an sich yang memerlukan perhatian para seniman dan sastrawan. Lantas apakah demikian penting, sebuah kejayaan sastra tanpa ada pembangunan di tingkatan bawah masyarakat atas persoalan-persoalan riil mereka? Apakah demikian penting arti penciptaan bahasa tanpa kesadaran bahwa sastrawan berkomunitas justru semestinya untuk menciptakan kesatu-paduan dalam melakukan proyeksi dan tindakan konstruktif sosial-politik kita.
Jakarta misalnya, menjadi salah satu contoh di mana dinamika hubungan antar komunitas sastra menjadi begitu penting untuk dicari bangun komunikasinya. Bukan sebuah rahasia umum lagi bahwa betapa sastra kita kali ini sarat nuansa politis antar kepentingan kelompok semata. Hal semacam ini, semoga tidak terjadi di Yogyakarta. Toh seandainya mesti terjadi, bukan dalam hal bagaimana memenangkan satu kelompok dari kelompok yang lain (semacam partai politik saja), tetapi mencari rumusan (yang tentu saja butuh proses) dalam memberikan gerakan yang lebih ampuh memasyarakatkan sastra ke khalayak dan menghidupkannya di tengah-tengah masyarakat kita.
Yogya mestinya tidak hanya menjadi barometer atau-pun ibu kota dari sastra, tetapi menjadi sebuah gerakan progressif kaum seniman (sastrawan) untuk mengembalikan gerakan sastra kepada fungsinya; sebagai sebuah sikap sosial yang mendamba demokratisasi dalam segala bidang, yang memberikan universalitas humanistik atas konsepsi dan kebijakan yang masih timpang di Negara kita. Untuk cita-cita yang demikian, kita memerlukan sebuah gerakan dan konsepsi riil dalam menghadapi realitas dan konteks yang telah berkembang sedemikian rupa (agar tidak hanya menjadi harapan-harapan utopis yang naïf). Dibutuhkan sikap eklektisitas (saling keterbukaan), komunikasi antar pelaku sejarah gerakan sastra dari segala periode, serta kesebangunan visi yang memberikan spirit bagi pelaku sastra di Yogyakarta, agar sastra tidak terjatuh pada bentuk elitisisme dan perayaan semata, semacam ‘Pasar Malam’ yang meriah di waktu tertentu saja.
Di tengah-tengah peperangan kebudayaan yang semakin dirasuki modernitas dan globalisasi kapitalistik. Di antara semakin santernya pertumbuhan partai-politik. Sementara di sisi lain, masyarakat semakin disibukkan dengan godaan-godaan demokratisasi media. Sastra memiliki tantangannya yang cukup rumit untuk berdiri mendampingi terbentuknya kebudayaan adiluhung dan bebasnya hak-hak kemanusiaan. Kegiatan-kegiatan ceremonial seperti direfrensikan Otto Sukatno CR barangkali penting sebagai stimulus dari cita-cita luhur sastra, namun mengimpikannya sebagai fajar baru kebangkitan sastra tentu tidak hanya selesai sampai di situ.
Sastrawan mesti lebih memiliki kemandirian sebagai pribadi, justru agar ia bisa keluar dari segala bendera serta kandangnya untuk merangkul persoalan masyarakat lengkap dengan segala konsekuensinya.
Keterangan:
1. Dimuat di Minggu Pagi, 1 Februari 2011

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author