SUARA DARI BUKIT


Dalam sebuah perjalanan menemu seorang kawan penyair di sebuah kota kecil di ujung timur pulau Madura, Sumenep tepatnya. Saya bayangkan diri saya sebagai seorang Gao Xing Jian (meski tentu tidak sebegitunya), sedang menulis sebuah perjalanan ke sebuah gunung, tempat saya bertanya-tanya; apa sajakah yang dapat saya saksikan dari ketinggian yang begini?, adakah mata air di sini seperti dilegendakan sebagai tempat air surga mengalir bocor ke bumi? Saya tahu, dan tiba-tiba semacam mesti menulis tentang suara-suara yang lamat saya dengar mendengung sebalik bukit. Ada yang menebar gema di puncak bukit itu, seperti segerombolan orang-orang dari masa lampau, yang tak tampak tubuhnya dari lembah dan jendela bus ini. Tapi saya yakin, ada sesuatu itu yang bernama masa lalu, yang barangkali tak tercatat dan terlahir hanya untuk kebersiaan.

Bus terus melaju membelah jarak, mengabaikan peristiwa yang dilaluinya seperti rekam video yang dipercepat, dan sesekali tampak melintas para pedagang di pasar-pasar tradisional di sepanjang jalan, bau ikan dijemur, dan merbak asin laut yang sampai ke batin.
Bus terus melaju melewati setapak lembah-lembah dengan julangan pohon siwalan yang sedikit daun. Sementara di sisi kiri, bentangan laut terhampar, biru yang bersulih putih dengan langit. Laut yang menyimpan segala kegelisahan sejarah, tempat tualang para nelayan dengan burung-burung camar yang sesekali hinggap di pucuk layar. Di dalam hati kecil, saya amat bersyukur dikutuk mencintai pulau ini. Tiba-tiba saya merasa mengerti, mengapa di julangan bukit dan semurup laut ini begitu banyak penyair terlahir, di sini.
nAnoom, mampirlah ke tanah ini, kau akan tahu bahwa kota yang selama ini suka menyamar menjadi seorang lelaki yang pulang di rembang petang dan dengan bahasa yang merunduk ia selalu berkata: jangan pernah lagi meninggalkan kampung halaman, kepergian yang dikutuk, seperti malin kundang, yang takjub pada ibunya lalu jadi batu! Dan di tanah ini kita saling bertanya, mana yang lebih lampau daripada rindu dan cemas kehilanganmu? Betapa sakit rasa ingin memiliki itu.
Namun apa yang paling menarik dari sebuah perjalanan adalah kesan dan seorang kawan baru tepatnya. Telah lima tahun ini saya mempunyai kebiasaan buruk suka kelayapan ke kota-kota kecil di negeri ini, mencari sisi asing yang selalu saja tampak baru setiap saya menginjakkan kaki dan mencium bau tubuh tanah di tempat saya singgah, bertemu beberapa kawan penyair dan seniman, memecah udara dengan obrolan-obrolan di pinggir jalan, membeli es cendol lalu ngobrol soal kesenian sambil mengutuki bangsa ini yang bagi salah seorang kawan, selalu tampak mempunyai selera estetika yang buruk. Pergi ke alun-alun, nongkrong di terminal, bermalam di sanggar, dan aih, bertemu seorang gadis yang selalu seperti menyimpan laut di gelak tawanya, dan suka menyimpan rembulan di balik dadanya (tuhan benar-benar indah dalam hal ini).
Tanah ini, benar-benar tak perlu memiliki bahasa untuk sampai ke jantung saya, semenjak awal ia membenamkan diri, seperti nyinyir seruling yang lesat dan bergesekan di gemetar daun pada jantung dan lubuk saya yang sibuk.
Untuk itulah saya merasa perlu mencatat apapun yang saya rasakan, apa saja yang barangkali dapat melintas begitu saja. Meski hanya untuk sekedar tulisan belaka. Tapi saya yakin catatan ini akan menjadi catatan alternatif ketika tuhan barangkali hendak menghakimi saya dengan kenakalan-kenakalan yang saya perbuat padanya. Kau tahu, nakal terhadap tuhan itu seperti rasa manja berlebih seorang anak kepada bapaknya, bukan? Iya, tuhan suka bermain-main dalam hidup ini, dan saya tentu tidak akan menyia-nyiakan permainan ini dan akan meminta mainan yang paling menarik yang bisa diberi tuhan kepada saya: puisi dan sebuah ladang yang menadah purnama!
Sumenep-Yogyakarta, Desember 2010

0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author