Menimbang Kota Dari Desa



 
 
Hamdanî
 
Kekeliruan mendasar yang tak jarang tampak dari pengelolaan tata kota di daerah—seperti Pamekasan—adalah anggapan bahwa pembangunan merupakan kewajiban pemerintah semata. Paradigma semacam ini memunculkan visi yang timpang perihal kebutuhan mendasar masyarakat, ketidakseimbangan fungsi pragmatis dalam pemberdayaan sumber daya hingga malfungsi rancang-bangun daerah.

Akibatnya, aspirasi dan partisipasi masyarakat dalam berbagai tahap agenda pembangunan—termasuk sarana umum—menjadi sangat minim, untuk tidak mengatakan tiada sama sekali. Ini pada gilirannya akan turut mendukung proses pembangunan yang lamban dan salah sasaran. Pemerintah, misalnya, sibuk dengan rancangan pembangunan yang bombastis justru ketika jalan-jalan di dusun membutuhkan lampu penerangan untuk anak-anak pergi mengaji dan belajar demi keamanan dan kenyamanan mereka—sebagai misal sederhana. Akibatnya, sangatlah jauh panggang dari api.

Perencanaan pembangunan partisipatif ternyata bukan tak pernah terpikirkan. Permendagri Nomor 56 th 2004 tentang tata cara dan peran masyarakat dalam pembangunan serta PP No. 68 Tahun 2010 tentang bentuk dan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang yang menjamin hak warga sudah lama mewacanakan hal ini. Keterlibatan bersama mulai dari lapisan masyarakat terbawah (hingga tingkatan RT/Dusun), NGO, LSM hingga pemerintah juga dianggap sebagai hal yang mutlak dibutuhkan.

Kini adalah suatu keniscayaan untuk merevitalisasi wacana tersebut mengingat Madura tengah menjadi tak ubahnya “kembang perawan” bagi para investor sehingga arus pembangunan dipastikan akan kian pasang di kemudian hari. Apalagi, proses pembangunan yang demikian hingga kini masih sebatas rancang-bangun secara fisik tanpa ditopang nilai budaya (lokal) yang seimbang. Gersangnya unsur-unsur budaya (Madura) pada bangunan dan sarana umum di sepanjang pulau ini tak pelak menjadi begitu kentara.

Fenomena ini barangkali merupakan satu di antara dampak pembangunan yang sempat dikhawatirkan para pemangku nilai menyusul rencana pembangunan Jembatan Suramadu sejak awal dasawarsa 1990-an. Ini sekaligus juga menunjukkan betapa  masyarakat ‘urban’ Madura sebenarnya baru memulai sejarah perkotaan serta industralisasinya. Invasi kapitalistik kolonial Belanda berabad sebelumnya ternyata tidak cukup mampu mewarnai pembentukan struktur fisik dan nilai, kecuali dalam bentuk pemerintahan monarkhi yang belakangan tidak banyak bertahan. Dalam hal arsitektur, paling banter, sentuhan kolonial tampak dari jalur kereta api, pusat kota serta pelabuhan yang ketika itu memang dibangun untuk mendukung kepentingan kolonial—yang akhirnya  menciptakan jurang tajam dengan masyarakat.

Jurang dan gap itulah yang ternyata lebih diwarisi Madura dewasa ini. Ini terjadi antara laku pemerintahan dan dinamika masyarakat kalangan bawah (subaltern) yang tak mampu—dan tidak tahu bagaimana—bersuara. Kebutuhan real masyarakat nyaris tak terserap, sedang laju pembangunan yang tak terkendali tidak diimbangi dengan keberpihakan terhadap masyarakat lokal serta nilai-nilai yang hidup di dalamnya. Akibatnya, tak sedikit yang kemudian jatuh pada kegamangan hibriditas urban berupa kebingungan menghadapi tuntutan industriaisasi di tengah minimnya sumber daya yang dapat diandalkan.

Keadaan yang demikian salah satunya dapat ‘diatasi’ dengan keterlibatan masyarakat dalam menyuarakan aspirasi serta peran partisipasitif dalam pembangunan kota. Kota menjadi penting karena ia adalah jantung daerah sekaligus halaman depan suatu peradaban. Ia merupakan rancangan imajiner alam pikir dan kebudayaan suatu masyarakat. Keterlibatan seluruh lapisan masyarakat akan memberi wacana baru dalam pembangunan kota, utamanya perihal bagaimana kebudayaan bisa merasuk ke dalam alam fisik kota dan mengejewantahkan keadaban masyarakatnya—secara fungsi dan makna.

Refleksi di atas merupakan titik tolak agar upaya pembangunan struktur fisik di Madura tidak terjadi secara sporadik tanpa kendali. Daerah di Madura, utamanya Pamekasan, dapat menyambut perkembangan industri dan ekonomi wisata—sebagai misal—tanpa harus menjadi latah. Ia tetap dapat mengacu pada kekayaan budaya Madura, mempertimbangkan faktor ekologis,  memperhitungkan posisi tawar masyarakat lokal dan menghimpun keterlibatan mulai dari pemerintah, ulama, akademisi, seniman dan budayawan serta masyarakat umum. Kesiapan “budaya” semacam ini merupakan hal mendesak untuk menyemarakkan pembangunan agar ia tak hanya melahirkan segelintir elit perkotaan yang tercerabut dari ikatan sosial kultural tradisionalnya ala desa.  Masyarakat perkotaan dan masyarakat lapis bawah dilahirkan, namun sebaliknya, “komunalisme” dan solidaritas kultural justru akhirnya diragukan.

Dalam perkembangannya Madura pada umumnya berada dalam bentuk masyarakat tradisional-kesukuan (folk societies). Ditinjau dari sisi budaya ini bukanlah kondisi yang melulu dekaden. Keterjagaan dan kemurniaan alam budaya Madura yang telah dirawat sedemikian rupa oleh para pemangku nilai dengan mengelola masyarakat di desa-desa, merupakan modal utama. Kebudayaan murni ala pesantren di Madura, Keislaman tradisional yang melewati proses asimilasi berabad-abad, etos kerja lokal, merupakan bahan baku utama untuk merancang daerah yang berintegrasi dengan alam budaya Masyarakatnya. Sebab, kita tentu tidak memiliki harap pengembangan potensi Madura justru menjadi depresi massal yang berujung pada persoalan patologis—ketika kota dirancang bersebrangan dengan pondasi-pondasi nilai masyarakatnya.

Kita banyak memiliki kesempatan untuk memulai dari dalam ketika kota-kota lain di seluruh dunia telah begitu terlambat untuk memulainya kembali. Hal paling mungkin yang dapat segera dilakukan adalah merancang kota dari desa. Desa adalah titik berangkat bagi Madura guna menumbuh-kembangkan benih dari hulu kebudayaan yang sesungguhnya. Hanya dengan mempertimbangkan perangkat dan tata nilai desa lah, kota dapat diberi makna yang orisinal. Apabila desa sepi dari pembangunan  dan dinamika kebudayaannya dibiarkan kering, maka sebuah kota, seperti apapun megahnya, adalah kota yang mati.[]


0 komentar:

 

Flickr Photostream

Twitter Updates

Meet The Author