[Sumber Gambar]
akankah turun kebahagian
di taman-taman yang sepi
perlahan bagai kabut menyisiri
tanah-tanah rendah. berjalan beriring
akankah turun kebahagian
di taman-taman yang sepi
perlahan bagai kabut menyisiri
tanah-tanah rendah. berjalan beriring
dengan kesunyianku dan menetaskan pagi
dari sinar matanya yang jernih?
aku berteriak di tengah kerumunan
bertahan dalam keramaian dan pesta
kunyalakan pelita kecilku di jalan-jalan gelap
kala malam yang payah
menidurkan kota-kota lindap
dan aku menjelma peronda malam
memasuki kelam-bayang
siapakah tuan bagi kebahagiaan
si bestari ataukah si budak?
sang lapar yang tak henti bergerak
mengukir besi-besi tempaan
ataukah si bijak yang membiarkan
buku-buku tetap terbuka
tiada terucap makna
yang menebar kata-kata ajaib
bagi si kaya dan kuat
kebahagiaan yang fana
yang tak tersentuh bahasa
yang tak dapat digenggam raja-raja
yang gagal dijanjikan penyair dan si bijak
(bahkan negara dan tentara)
pada siapakah kau mengabdi
pada kepalan para martir
ataukah bungkamnya si dungu
bahkan bila mereka hapus namaku
dari buku dan meleraikanku dari anak jiwaku
mengasingkan aku ke pulau tak berpeta
menguburku di negeriku sendiri
o, kebahagiaan, akankah kau dekat
dan menjauh dari tangkap-mataku
sembari mengingkari dan menepis
harapku lagi padamu, wahai kebahagiaan
kau yang merdeka, yang mendekap si pencuri
dan pengemis, yang menggerakkan si rakus
juga si pengecut, yang mampu bersembunyi
di gelak tawa para badut, serta membebaskan
mereka yang terluka—
aku kan terus berjaga hingga
ke pucuk malam. kan kulahirkan tanpa henti
bayang-bayangku dengan pelita kecilku
meraih ia yang kalah dan dikalahkan
karena hanya oleh tangan koyak
mereka yang dilemahkan. aku terdesak
ke meja tulis lelaki asing itu
—menjelma puisi.
Yogyakarta, 2015
dari sinar matanya yang jernih?
aku berteriak di tengah kerumunan
bertahan dalam keramaian dan pesta
kunyalakan pelita kecilku di jalan-jalan gelap
kala malam yang payah
menidurkan kota-kota lindap
dan aku menjelma peronda malam
memasuki kelam-bayang
siapakah tuan bagi kebahagiaan
si bestari ataukah si budak?
sang lapar yang tak henti bergerak
mengukir besi-besi tempaan
ataukah si bijak yang membiarkan
buku-buku tetap terbuka
tiada terucap makna
yang menebar kata-kata ajaib
bagi si kaya dan kuat
kebahagiaan yang fana
yang tak tersentuh bahasa
yang tak dapat digenggam raja-raja
yang gagal dijanjikan penyair dan si bijak
(bahkan negara dan tentara)
pada siapakah kau mengabdi
pada kepalan para martir
ataukah bungkamnya si dungu
bahkan bila mereka hapus namaku
dari buku dan meleraikanku dari anak jiwaku
mengasingkan aku ke pulau tak berpeta
menguburku di negeriku sendiri
o, kebahagiaan, akankah kau dekat
dan menjauh dari tangkap-mataku
sembari mengingkari dan menepis
harapku lagi padamu, wahai kebahagiaan
kau yang merdeka, yang mendekap si pencuri
dan pengemis, yang menggerakkan si rakus
juga si pengecut, yang mampu bersembunyi
di gelak tawa para badut, serta membebaskan
mereka yang terluka—
aku kan terus berjaga hingga
ke pucuk malam. kan kulahirkan tanpa henti
bayang-bayangku dengan pelita kecilku
meraih ia yang kalah dan dikalahkan
karena hanya oleh tangan koyak
mereka yang dilemahkan. aku terdesak
ke meja tulis lelaki asing itu
—menjelma puisi.
Yogyakarta, 2015
2 komentar:
Ternyata masih eksis ya, sobat. Bagaiaman kabar setelah dan sebelum menikah? apa ada perbedaan dari sisi pola hidup? atau...??? hahahaa..!!! Kawan-kawan dulu saat satu kampus,(Iddin & Fajjar)kini mereka di Jakarta. Seringkali kita menghabiskan waktu bersama secangkir Kopi. Oh ya, Conk Yanto juga masih sering berkumpul dan melepas kepenatan rutinitas di warung kopi. Good Luck Sobat...
Alhmdulillah, meski tidak terlampau produktif seperti dulu di Yogya. Wah, salam hangat buat kawan-kawan semua ya. good luck juga untukmu..
Posting Komentar